Yen ora Sabar Maburo
(Kalo tidak sabar silahkan terbang)
Suara gesekan karet wiper yang sibuk menepis bulir-bulir bening hujan pada kaca mobil seakan menjadi instrumen musik tambahan dalam lantunan jazz lembut dari sound system. Di beberapa bagian lagu memang terdengar tidak tepat betul presisinya. Suara wiper itu lebih terkesan memaksa untuk diterima kehadirannya sebagai temanku melintasi jalan basah sepulang dari kantor.
Sore itu hujan tidak mengerahkan seluruh armadanya. Aku memilih mengurangi laju mobil untuk dapat lebih menikmati hujan. Tak perlu terburu-buru, pikirku. Toh, aku tidak sedang berjanji menjemput siapa-siapa. Lagipula, di rumah juga tak ada siapa-siapa yang menungguku dan yang akan menjawab salamku dengan senyum manis serta secangkir teh hangat di tangannya.
Dari balik kaca yang dipenuhi bulir hujan, kusaksikan di beberapa tempat orang-orang singgah berteduh. Sebagian besar dengan ekspresi wajah tak tenang. Mereka seperti tidak sabar lagi untuk tiba di rumah. Mungkin karena di rumahnya sudah ada yang menunggu dan akan menjawab salam dengan senyum manis serta secangkir teh hangat di tangannya.
Saat aku harus berhenti di sebuah persimpangan karena lampu merah, mataku tertumbuk pada sosok ibu muda berpakaian PNS. Sosoknya sederhana. Dia dibonceng oleh pria yang kemungkinan besar suaminya. Suaminya memakai mantel yang tidak cukup untuk mereka berdua. Si Ibu muda membiarkan sebagian tubuhnya basah oleh hujan. Ia tidak membetulkan posisi mantel yang kedodoran.
Begitu lampu berganti hijau, kendaraan bergerak maju. Meninggalkan jejak ban pada aspal yang akan segera ditimpa oleh jejak kendaraan berikutnya. Aku memutuskan mengikuti si Ibu muda tadi. Tentunya dengan menjaga jarak agar dia tidak merasa dibuntuti. Senyumnya membuatku tertarik. Senyumnya membuatnya terlihat lain sendiri diantara pengemudi lain yang berwajah serius tak ramah. Dia tak terusik sama sekali dengan pakaiannya yang basah. Dia terlihat bahagia. Begitu merdeka. Dia terlihat sangat menikmati betul setiap tetes hujan yang menerpanya yang memang terasa dingin menyejukkan.
Sebuah mercy melintas di sampingnya. Terlalu cepat hingga menyebabkan genangan air di aspal memercik mengenai rok si Ibu muda. Dia hanya melirik roknya sejenak dengan tetap mempertahankan senyumnya. Tidak terlihat guratan-guratan keluhan di wajahnya ataupun ekspresi iri kepada nasib si pemilik mercy yang lebih beruntung.
Mungkin dia baru saja memperoleh kepastian tentang kenaikan gajinya, pikirku. Sebuah kabar yang tentunya masih belum cukup melegakan di tengah lonjakan harga yang makin buas. Atau mungkin suaminya baru saja membelikan dia baju atau perhiasan yang sudah lama dia inginkan. Sebuah kulkas seperti milik tetangganya, barangkali. Atau malah dia yang sudah menyiapkan sebuah kejutan untuk suaminya di rumah sehingga dia tersenyum karena membayangkan wajah lucu suaminya bila terkejut. Atau, diatas semuanya, mungkin dia sudah memiliki kemampuan untuk bersyukur dan merasa beruntung atas apa yang sudah dia miliki. Entahlah.. yang pasti, ini terasa menyejukkan.
Sayang motornya berbelok ke arah jalan yang lain di saat aku mesti berhenti di lampu merah berikutnya. Masih sempat ku lihat lengannya melingkar di pinggang suaminya sebelum mereka benar-benar hilang dari pandanganku. Melihat pemandangan tadi aku merasa seperti sedang menemukan sesuatu yang inspiratif dan menyejukkan dalam wujudnya yang sederhana. Mungkin tentang sebuah rekayasa perspektif untuk dapat lebih menikmati hidup – yang toh juga dijalani oleh orang lain. Walau ku tahu, itu tidaklah mudah.
Hujan mulai reda. Wiper ku hentikan, AC ku matikan, kaca ku turunkan lalu sebatang rokok ku nyalakan. Lamat-lamat ku hirup lagi wangi sisa parfummu yang mulai pudar tersapu waktu dan asap rokok namun masih cukup terasa hadirnya menemaniku menikmati sepi. Hampir setiap hari seperti ini.
0 komentar:
Post a Comment