PSIKOLOGI: Semakin Banyak Ilmu Yang Anda Miliki Semakin Banyak Orang Yang Ilmunya Sedikit Menganggap Anda Sebagai Orang Bodoh
SEBAGIAN orang dan mungkin banyak orang Indonesia yang perilaku berpikirnya mempengaruhi caranya berbicara dan berperilaku fisik. Yaitu cara berpikir yang kurang benar atau bahkan tidak benar. Misalnya, kalau melihat motor memakai kanopi/atap, maka mereka tertawa terbahak-bahak. Menganggap pemilik motor itu aneh dan bodoh. Pikir mereka :” Bodoh! Motor kok pakai atap. Kalau hujan ya pakai mantel hujan atau jaket hujan”. Atau :” Walaupun memakai kanopi motor, tetap saja kehujanan”. Secara implisit atau eksplisit, mereka menganggap pengemudi motor berkanopi itu orang bodoh. Padahal, motor berkanopi sudah lama ada di China, Jepang, Hongkong, Italia, Inggeris, Italia, Swiss dan lain-lain. Bahkan Di Indonesia juga ada beberapa warga yang memakai motor berkanopi. Mereka yang menganggap bodoh juga tak bisa membedakan pengertian “kanopi” (anti panas” ) dengan “super kanopi” (anti hujan).Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke negeri China/Tiongkok
Ungkapan itu sering kita dengar. Maksudnya adalah, di samping kita belajar ilmu agama, maka kita juga wajib belajar ilmu-ilmu non-agama. Semakin banyak ilmu yang kita pelajari, semakin luas wawasan berpikir kita. Maka semakin mudah kita memahami masalah. Semakin mudah kita mencari alternatif solusi. Bisa kita belajar sendiri (dengan syarat kalau memiliki jiwa otodidak), bisa belajar dengan guru (dengan syarat gurunya cerdas), bisa dengan cara sekolah atau kuliah (dengan syarat mampu secara ekonomi) dan bisa dengan cara membaca buku-buku (dengan syarat kalau kita cerdas).
Gelar bukan tujuan
Menuntut ilmu sebanyak-banyaknya boleh saja. Tetapi bukan dengan tujuan mendapatkan gelar sarjana sebanyak-banyaknya kemudian kita pamer-pamerkan ke publik atau untuk disombongkan. Juga bukan tujuan untuk dianggap sebagai orang hebat atau sok tahu segalanya. Kepandaiannya tetap terbatas pada ilmu yang dipelajari. Kalau di luar ilmunya sebaiknya bersikap jujur, kalau tidak tahu harus dikatakan tidak tahu.
Ilmu untuk diamalkan
“Filsafat padi” memang mengatakan “semakin berisi semakin merunduk”. Maksudnya, semakin banyak ilmu janganlah semakin sombong, pamer gelar sarjana dan semacamnya. Filsafaat yang lebih baik yaitu “filsafat air terjun”, di mana air terjun airnya akan mengaliri sawah-sawah dan membuat sawah-sawah menjadi subur dan padinya sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Maksudnya, orang yang banyak ilmunya wajib mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu bisa sebagai pengajar (guru/dosen), melalui ceramah, melalui artikel yang dimuat di surat kabar/majalah/blog/website, menerbitkan buku, meng-upload di Facebook atau Twitter atau cara-cara lain yang tepat. Tujuannya yaitu, turut mencerdaskan bangsa.
Semakin banyak ilmu justru dianggap semakin bodoh
Aneh. Memang cara berpikir sebagian masyarakat kita aneh. Sama dengan uraian pendahuluan yang menganggap orang memakai kanopi motor adalah orang bodoh. Demikian pula, seringkali omongan atau tulisan orang yang banyak ilmunya justru sering disalahkan. Bahkan penulisnya dianggap bodoh. Ini fakta dan penulis artikel ini juga banyak mempunyai pengalaman yang mendukung anggapan itu bahwa semakin banyak ilmu yang kita atau Anda miliki, maka orang akan menganggap kita a atau Anda semakin bodoh.
Orang yang banyak ilmunya dianggap bodoh
Filsuf Yunani, Plato, pernah mengatakan:
“Orang pandai tahu ciri-cirinya orang bodoh. Sebab, sebelum dia pandai, dia pernah jadi orang bodoh. Sebaliknya, orang bodoh tidak tahu ciri-cirinya orang pandai. Sebab, sebelum bodoh, dia tidak pernah menjadi orang pandai”.
Kenapa orang yang banyak ilmunya kadang-kadang dianggap bodoh?
Mungkin, kadang-kadang, mungkin juga sering, orang yang banyak ilmunya justru sering disalahkan dan atau bahkan dianggap bodoh. Ada beberapa penyebabnya.
1.Karena mereka ilmunya sedikit
2.Karena wawasan berpikirnya sempit
3.Karena cara berlogikanya yang dogmatis-pasif
4.Karena merasa pendapatnya selalu benar (kebenaran subjektif)
5.Karena tidak memahami apa yang ditulis/dikatakan oleh orang ilmunya banyak
Ad.1.Karena mereka ilmunya sedikit
Tidak semua orang yang ilmunya sedikit suka menyalahkan pendapat orang lain. Tetapi cukup banyak orang yang ilmunya sedikit menyalahkan pendapat orang lain, walaupun itu mungkin tidak dikatakan. Mereka menganggap pendapat orang yang ilmunya banyak itu salah, karena dianggap bertentangan dengan kebenaran dirinya. Mereka menganggap orang yang banyak ilmunya hanya teoritis saja. Menganggap orang yang banyak imunya tak punya karya apa-apa. Menganggap teori itu tidak penting. Bahkan di kalangan masyarakat ada yang berpendapat, sekolah tak perlu tinggi-tinggi, yang penting bisa baca tulis dan berhitung. Juga ada sebagian masyarakat tidak suka kalau pendapatnya disalahkan oleh orang yang ilmunya banyak. Oleh karena itu mereka cenderung “membela diri” dengan cara mempertahankan pendapatnya dan justru menyalahkan pendapat orang yang banyak ilmunya. Mereka cenderung berkepribadian “Ngeyelisme”.
Contoh:
Si B seorang sarjana lulusan satu perguruan tinggi. Apapun yang dikatakan Si A ((sarjana filsafa) tentang hal-hal yang berhubungan dengan logika, selalu disalahkan Si B. Bahkan dengan nada sok yakin dan penuh dengan emosi, mengatakan bahwa pendapat Si A salah. Tentu saja Si A yang paham ilmu filsafat dan paham ilmu logika lebih tahu dibandingkan Si B yang bukan sarjana filsafat. Si A tahu bahwa Si B tidak bisa membedakan pengertian “Logika” dan “Ilmu Logika”. Tidak bisa membedakan pengertian “Logika Awam” atau “Logika Spekulatif” dengan “Logika Akademik” atau “Logika Ilmiah”.
Ad.2.Karena wawasan berpikirnya sempit
Wawasan berpikir sempit bukan berarti orang yang ilmunya sedikit. Yang dimaksud berwawasan sempit adalah orang-orang yang tidak mengakui adanya alternatif lain. Tidak mengetahui adanya kemungkinan-kemungkinan lain. Tidak sadar kalau ada probabilitas-probabilitas yang lebih benar. Jadi, cara berpikirnya seperti katak dalam tempurung.
Contoh:
Si A paham Linguistik (Ilmu Bahasa). Tahu bagaimana cara membuat gelar sarjana yang benar. Tahu mana gelar yang salah dan mana gelar yang salah. Tahu bagaimana caranya memakai gelar sarjana yang salah. Si A mengatakan gelar Ir, Dra,BcHk, SPd, Msi adalah gelar-gelar yang salah. Si A juga mengatakan memakai gelar S1 dan S2 sekaligus (misalnya SH,MH) merupakan cara memakai gelar yang salah. Si A juga memberikan argumentasinya yang ilmiah. Namun Si B yang wawasan berpikirnya sempit menyalahkan pendapat Si A. Katanya, memakai gelar terserah pribadi masing-masing. Salah atau benar tidak urusan, yang penting orang lain tahu maksudnya. Gelar yang dipakainya sesuai yang tertulis di ijasah. Dan argumenttasiargumentasi lainnya yang tidak ilmiah dan tidak rasional.
Ad.3.Karena cara berlogikanya yang dogmatis-pasif
Cara berlogika dogmatis-pasif yaitu cara berlogika yang tidak bisa berubah. Tidak bisa menerima pendapat orang lain walaupun pendapat orang lain benar atau lebih benar. Mereka tetap beranggapan bahwa pendapatnyalah yang benar. Bahkan mereka merasa benar karena mengikuti apa kata gurunya/dosennya. Mereka menganggap benar karena menggunakan cara berlogika yang salah.
Contoh:
Si A yang paham Psikologi mengatakan, menilai orang itu jangan dari agamanya, ibadahnya,qatam Al Qur’annya, kekayaannya, gelar sarjananya, gelar hajinya atau pangkatnya, tetapi nilailah perilakunya. Walaupun Si B seorang sarjana (bukan sarjana psikologi) atau tidak paham psikologi, selalu mengatakan bahwa ibadah itu perlu, qatam Al Quran itu perlu. Si B tidak memahami maksud Si A, bahwa perilaku yang baik jauh lebih penting daripada beribadah atau qatam Al Quran. Maksudnya, ada juga orang yang rajin beribadah, qatam Al Quran, sudah haji, tetapi melakukan korupsi sapi. Si B menganggap Si A tidak menghargai rajin beribadah dan qatam Al Qur’an, padahal bukan itu maksud Si A. Pendapat yang salah itu semata-mata karena cara berlogika Si B yang dogmatis-pasif. Tidak mau menerima kebenaran dari orang lain. Menganggap kebenaran agama sebagai satu-satunya kebenaran.
Ad.4.Karena merasa pendapatnya selalu benar (kebenaran subjektif)
Memang ada orang yang egois. Individualis. Akibatnya cara berpikirnya subjektivisme. Apa yang dianggap tidak cocok dengan kepentingan atau seleranya, akan dianggap salah. Tetapi, kalau ada informasi atau pendapat orang lain yang dianggap menguntungkan bagi dirinya atau sesuai seleranya, maka pendapat itu dianggap benar. Pokoknya yang dijadikan tolok ukur kebenaran adalah kepentingan pribadinya.
Contoh:
Boleh dikatakan bahwa 100% orang—orang merasa bahwa pendapatnyalah yang benar. Boleh-boleh saja. Di dalam setiap dialog, diskusi, tukar pikiran, proses membaca, seminar, perdebatan, berbeda pendapat, setiap orang pastilah merasa pendapatnyalah yang benar. Bahkan berani mengatakan pendapat orang lain yang salah dan pasti salah. Boleh-boleh saja merasa benar. Tetapi harus dipahami bahwa kebenaran itu ada dua macam. Yaitu, Kebenaran Subjektif dan Kebenaran Objektif. Kebenaran Subjektif yaitu kebenaran berdasarkan Logika Awam atau Logika Spekulatif yang mempunyai sifat baanyak salahnya daripada benarnya. Sedangkan Logika Akademik atau Logika Ilmiah adalah logika yang banyak benarnya daripada salahnya, sebab cara berlogikanya berdasarkan “rumus-rumus” logika yang berlaku sejak jaman Yunani hingga Kiamat Qubro nanti.
Ad.5.Karena tidak memahami apa yang ditulis/dikatakan oleh orang ilmunya banyak
Disadari atau tidak, orang yang ilmunya banyak seringkali menggunakan istilah-istilah yang jarang didengar atau dipahami oleh orang yang ilmunya sedikit. Bahkan kalimat-kalimatnya dianggap aneh dan sulit dipahami. Merekapun mengambil kesimpulan bahwa apa yang dikatakan oleh orang yang banyak ilmunya dianggap sebagai retorika saja. Dianggap hanya bermain kata-kata saja. Dianggap memutarbalikan fakta atau kebenaran. Apa yang bertentangan dengan pendapat mereka yang berlaku secara tradisi dan turun temurun, dianggap salah. Bahkan orang yang ilmunya banyak dianggap sebagai orang yang “pinter tapi keblinger”.
Contoh:
Si A juga seorang lulusan fakultas sastra yang paham soal satra dan bahasa. Mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada fatwa haram golput. Bahkan di Indonesia juga tidak ada fatwa haram golput. Yang ada adalah fatwa tentang hak pilih, yaitu setiap umat Islam wajib memilih pemimpin yang memenuhi syarat. Sekali lagi: Yang memenuhi syarat. Logikanya, kalau tidak ada yang memenuhi syarat tentunya golput tidak bisa dikatakan haram, sejau masih ada orang lain yang menggunakan hak pilihnya. Namun Si B mengatakan bahwa memilih pemimpin itu wajib.Berarti golput itu haram.Titik. Padahal fatwa MUI ada komanya, yaitu apabila ada calon pemimpin yang memenuhi syarat. Jelaslah Si B tidak mempunyai kemampuan untuk memahami fatwa dari MUI tersebut.
Kenapa ada anggapan yang salah terhadap orang yang punya banyak ilmu?
Ada beberapa faktor yang enyebabkan orang menganggap salah pendapat orang yang banyak ilmunya. Bahkan menganggapnya sebagai orang bodoh yang bisanya cuma berteori saja. Antara lain:
-Sistem pendidikan yang tidak berbasiskan Logics
-Sedikitnya pengetahuan atau ilmu pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki.
-Menganggap selesai sekolah/kuliah, maka tidak perlu belajar lagi
-Cara berlogika yang salah
-Pribadi egoistis-individualistis (ngeyelisme)
Lantas bagaimana solusinya?
Solusi bagi orang-orang yang ilmunya sedikit antara lain:
-Banyak membaca buku-buku
-Menyadari adanya kemungkinan lain yang benar dan lebih benar
-Kalau tidak mengerti sebaiknya banyak-banyak bertanya
-Menghindari sikap ngeyelisme
-Mau mengubah cara berlogikanya dari dogmatis-pasif menjadi dogmatis-aktif (mau dan sportif mengakui kebenaran yang dikatakan orang lain) dan tidak terburu-buru menilai atau mengambi kesimpulan.
Catatan:
1.Bukan maksud penulis meremehkan orang yang ilmunya sedikit, melainkan ingin mengatakan bahwa orang yang ilmunya sedikit seringkali kurang bisa memahami pendapat orang yang ilmunya banyak. Bisa dimaklumi.
2.Orang yang banyak ilmunya juga belum tentu orang pandai. Sebab, orang pandai adalah orang yang suka berkarya dan bisa memecahkan masalah secara efektif dan efisien dengan cara yang benar. Banyak ilmu memang banyak benarnya jika bicara tentang ilmunya. Tetapi, banyak ilmu saja tidak cukup kalau tidak didukung penguasaan dan pemahaman tentang Ilmu Logika, baik Logika Formal maupun Logika Material.
Semoga bermanfaat.
tulisan: Hariyanto Imadha
0 komentar:
Post a Comment