Cintaku Ditolak Cowok Gendut Kadaluarsa
Kita nggak pernah tau kapan kita akan ketemu dan berpisah dengan seseorang. Kadang, saat kita mulai belajar mencintai seseorang
CINTAKU DITOLAK COWOK GENDUT KADALUARSA Kita nggak pernah tau kapan kita akan ketemu dan berpisah dengan seseorang. Kadang, saat kita mulai belajar mencintai seseorang, yang terjadi justru muncul rasa benci. Dan kadang, pada saat kita menanamkan benih kebencian, justru rasa cinta yang tumbuh. Ketemu seseorang terus berteman dan berakhir penghianatan sangat menyisakan sakit hati. Beberapa di antara kita mungkin berpikir kehilangan pacar nggak lebih menyakitkan dari pada kehilangan teman, sahabat.
Tapi akui saja, hanya kehilangan pacar yang bisa bikin seseorang bisa berakhir minum racun serangga. Biarpun begitu, apa harus selalu diakhiri dengan bunuh diri? Atau minimal nggak doyan makan sampai masuk Rumah Sakit? Hal seperti itu nggak boleh terjadi pada seseorang yang lagi mati-maLelyn mencari cinta, seperti yang terjadi pada salah satu temanku. Nggak akan ada yang menyangka kalau cewek seperti dia masih berstatus lajang, single, JOMBLO. Cantik, pintar, bisa masak, hobi dandan dan cari diskonan, pantasnya dia udah punya cowok yang punya prospek masa depan cerah yang bersedia menikahinya karena dia udah bisa dimasukkan dalam kategori sempurna. Dia cuma punya satu kekurangan, kurang berat badan (literally). Cantik, pintar, kaya, wont make a woman kalau dia belum menikah. Makanya, untuk jadi perempuan sempurna, dia berusaha keras melakukan sebisanya untuk mendapatkan cowok baik hati yang bisa menyayanginya dan keluarganya.
Sayangnya pencarian cinta buat cewek seperti dia nggak segampang memoleskan lipstik di bibirnya. Mawar, temanku itu belum lama menyudahi hubungannya sama cowok nggak jelas bernama Priono waktu dikenalkan sama cowok Batak satu sekolahnya bernama Jono. Menurutku, cowok ini terlalu uzur buat Mawar yang masih bisa dianggap muda. Jarak usia mereka tujuh tahun. Tapi menurutku, kalau dia benar-benar sayang dan serius sama Mawar, aku akan mendukung mereka. Jono itu tipe cowok pendiam, cocok banget buat meJonom sikap Mawar yang nggak bisa diam. Dia juga udah punya kerjaan yang mapan. Kelihatannya dia juga dewasa, bisa jadi panutan buat Mawar yang agak kekanak-kanakan. Despite of their age, mereka berdua kelihatan oke. Lagian memang Jono mendekati tipenya Mawar: bersikap dewasa, pembawaan kalem dan bergaya rapih. Aku pikir mereka bisa jadi pasangan yang sangat cocok.
Sebenarnya mereka nggak ada maksud buat menyembunyikan hubungan mereka, tapi mereka nggak mau ada banyak gosip menyebar di lingkungan sekolah, jadi hubungan mereka sebatas tahu sama tahu. Dan hanya ada beberapa teman aja yang tahu. Karena udah dewasa, jadi cara Jono BBM Mawar juga nggak kekanak-kanakkan tanya udah makan apa belum atau udah mandi apa belum. Yang mereka bicarakan adalah hal-hal yang lebih berarti, seperti tentang pekerjaan, kuliah, keluarga, masa depan, tentang mereka berdua. Kadang aku bingung, kok bisa ya Jono bisa nerima Mawar yang kadang jadi norak karena sikap polosnya. Well, they say love is blind. Dipikir sebaliknya, ngapain juga Mawar mau nerima cowok kadaluarsa gitu? Tapi memang love should go beyond the look ^_^
Cukup lama Mawar berhubungan dengan Jono, dan dia ingin kepasLelyn hubungan mereka, tapi Mawar nggak tau gimana harus ngomong sama Jono. Sayangnya kepolosannya membuat dia melewatkan kesempatan-kesempatan itu. Pernah dia cerita kalau Jono ngajak dia pergi nonton, bukannya diterima ajakan itu, siapa tau Jono mau ngomong serius, Mawar justru nolak dengan alasan dia kalau nonton film di bioskop suka ketiduran. Di lain waktu secara implisit Jono mau ngajak Mawar ke Jakarta, mungkin mau mengajaknya ketemu orang tuanya, tapi apa jawaban Mawar? Oh, aku udah pernah ke Jakarta, Mas. Dulu waktu jaman study tour SMP. Aku sama temen-temen ke Dufan, naik roller coaster.
What the... . Temanku satu ini, bukannya aku sok tahu, tapi kayaknya sikap kekanak-kanakkannya itu yang bikin banyak cowok agak ragu mendekatinya. Mungkin dia nggak kekanak-kanakkan, cuma sedikit polos. Beberapa waktu lalu, dia merasa ketidakjelasan hubungan mereka akan segera terjawab karena Jono mau Mawar ketemu sama orang tuanya di Jakarta. Dengan perasaan tidak menentu Mawar berangkat ke Jakarta. Sebenarnya tujuan utama dia ke Jakarta bukan untuk ketemu orang tua Jono, tapi untuk ketemu sama keluarga kakaknya. Karena kebetulan Jono juga pulang ke Jakarta, jadi liburannya itu ia gunakan untuk sekalian ketemu calon mertua. Beberapa teman di sekolah yang sudah mengetahui hubungan mereka berkata begitu, ketemu camer.
Dari beberapa teman di sekolah Mawar juga mengetahui kalau Jono benar-benar serius menjalani hubungan dengannya, dengan maksud untuk menikahinya, maka Mawar juga dengan hati-hati menjaga hubungan mereka. Hari itu, Jono menjemput Mawar di rumah kakaknya. Mereka berencana berjalan-jalan keliling Jakarta. Tapi bukannya menuju mall, Jono justru membawa mereka kerumahnya. Dengan tanpa persiapan apa pun Mawar menemui orang tua Jono.
Perasaan yang bisa ia lukiskan adalah kacau. Gimana enggak, dia datang tanpa persiapan apa pun, pakai baju seadanya, dandan seadanya, dan yang paling penting, dia nggak tau harus ngomong apa, dia belum menyiapkan pidato khusus. Datang seperti itu ke rumah Jono udah kayak perang tanpa amunisi. Meski begitu, sesampainya di sana Mawar merasa senang karena orang tua Jono langsung mengenalinya meski pun dia bersama adik dan kakakperempuannya. Mereka menyambutnya dengan baik, dengan ramah dan dengan senyuman lebar. Orang tua Jono banyak bercerita tentang keluarga mereka, tentang adik-adik Jono yang sudah menikah, tentang adat keluarga, tentang banyak hal. Tapi yang banyak menimpali obrolan adalah kakak Mawar karena ia bersuamikan orang Batak jadi bisa nyambung, sedangkan Mawar cuma bisa duduk manis di sebelah Jono dan menjual senyuman termanisnya. *** Mataku belum benar-benar terbuka lebar, otakku masih setengah memikirkan bantal saat dengan setengah malas dan capek memasuki kantor sekretariat Magister Ilmu Susastra. Demi Mawar, aku rela bangun pagi buat nemenin dia sidang tesis. Dari bangun pagi-pagi buat sholat subuh, aku udah membayangkan gimana tegangnya dia mau menghadapi ujian ini. Aku sih berharapnya dia udah prepare semuanya, dan kedatanganku dan temen-temen lain bisa memberi dia semangat lebih. Mawar lagi duduk menunduk memegang BB-nya. Mbak Ari kayak biasanya, duduk manis di belakang meja kerjanya dan langsung memberi senyuman termanisnya waktu aku pelan-pelan membuka pintu. Mas Jono, lebih baik nggak usah dihiraukan, daripada bikin sakit hati. Hai Say.
Mawar langsung saja menyapaku dengan setengah berteriak. Gimana? Dah siap? Tanyaku. Aku mengantisipasi jawaban yang tentu saja berkaitan dengan persiapan ujiannya. Tapi apa katanya?? Aduh, Gimana ni, Li... Ya gimana? Semalem belajar nggak Aku masih yakin kalau ini berhubungan sama sidang tesisnya. Aah, kalau itu sih gua udah nggak mikir. Tesis gue kerjain sendiri masak nggak bisa sih? Ini loh, si Jono... Begitu nama si lelaki gendut kadaluarsa itu disebut aku langsung merasa sangat kecewa. Ngapain juga aku mikir gimana persiapannya dia? Ikut deg-degan juga? Kalau ternyata dia malah mikirin cowoknya? Bentar, laper gue. Tentu saja aku akan lebih mementingkan perutku setelah mendengar jawaban tak terduganya. Sambil tertawa geli Mbak Ari berdiri mengambilkan sekotak snack untukku. Ini Mbak, buat Mbak Lily, dimakan aja nggak pa-pa. Dengan malu-malu tanpa ragu aku menyambut snack yang dipersiapkan untuk sidang tesisnya Mawar. Gimana gimana gimana? Satu kali gimana sepertinya nggak cukup mewakili rasa penasaranku. Jono tu belum BBM gue, nggak SMS, nggak telfon. Padahal dia ngerti gue mo ujian. Masak nggak ngucapin apa apa? Gimana ini Li.... Lagi sibuk kali... Dibilangin nggak percaya... Belum selesai aku menyelesaikan perkataanku, Mas Jono sudah lebih dulu menyambar. Dia seperti biasanya, duduk di depan komputer, rambutnya keriting berantakan, senyumnya nyebeli, apa lagi ketawanya. Dia paling nggak bisa nggak ngata-ngatain orang, terutama aku sama Mawar. Aku sih menaksir dia itu mengidap penyakit nggak-bisa-nggak-ngata-ngatain-cewek-cantik. Jono nggak pingin ganggu elo dulu kali, Doni, kataku. Ujian dulu, baru mikir pacar. Nggak niat lulus! Ejek Mas Jono.
Mas Jono... nggak ngerti lagi galau apa?!. Loh, aku kan cuma ngingetin. Kalau pingin lulus ya ujian diseselaikan dulu. Orang kamu nggak niat lulus kok. Pinginnya nikah kan? Mau nikah dulu apa lulus dulu!?! Lulus dulu dong Mas. Trus langsung nikah. Hah, tetep, rakus. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala sambil nggak berhenti makan pastel dari kotak snack yang dikasih Mbak Ari. Sedangkan Mbak Ari terus ketawa melihat kelakuan suaminya yang nggak jelas dan kekanak-kanakan itu. Sepertinya Mbak Ari udah kebal sama keanehan suaminya itu. Kadang aku bingung, gimana bisa Mas Jono yang nyebeli bisa jadi suami Mbak Ari yang lovely banget. Emang cinta itu aneh. Sama seperti cintanya Mawar dan Jono. Aneh. Mawar yang polos, cerewet, berpacaran serius sama Jono, cowok gendut, tujuh tahun lebih tua, pendiam, dan (menurutku) garing. ***
Sudah berhari-hari, mungkin sampai berminggu-minggu, Mawar nggak mendapat kabar apa-apa dari Jono. Dia cuma diam nggak berani bertanya kenapa. Kenapa nggak ada kejelasan hubungan mereka justru setelah dia mempertemukan Mawar dengan keluarganya. Mawar, dia perempuan yang terlalu percaya pada siapa saja, orang yang nggak pernah punya pikiran negatif, seseorang yang nggak punya rasa benci. Sore itu kami, aku, Mawar, Mbak Lely, dan Tono, hang out ke tempat karaoke setelah sekian lama nggak ketemu. Kemudian malamnya kami makan bareng di warung makan dekat kos-kosannya Mbak Lely. Pada saat itu Mawar menceritakan hal yang membuatku sangat bersyukur dengan sikap judes dan nyebelin yang aku punya. Paling nggak, meskipun sikap ini membuatku punya banyak musuh, tapi ini membuatku menjadi seseorang yang kuat buat melawan perlakuan nggak menyenangkan dari orang lain. Prediksi elo dan yang lain kalau dia mungkin nggak punya kepercayaan diri buat ketemu gue. Kalau dia takut gue tolak setelah mempertemukan gue sama orang tuanya. Itu semua salah.
Katanya memulai ceritanya. Maksud lo? Aku nggak ngerti. Pada saat Jono berhari-hari nggak menghubungi Mawar, kami punya banyak asumsi. Mungkin dia nggak pingin ganggu ujin Mawar dulu. Mungkin dia sibuk sama kerjaannya. Mungkin dia nggak percaya diri, takut Mawar akan menolaknya setelah bertemu dengan orang tuanya. Banyak sekali hal-hal yang kami pikirkan. Hal-hal yang tetap membuat Mawar berharap hubungannya akan baik-baik saja. Orang tuanya nggak nerima gue. Maksud lo? Bukannya mereka menyambut lo dengan baik? Mawar mengangguk, masih mengunyah makanannya. Orang tuanya tetep pingin Jono punya istri orang Batak, lanjutnya setelah menelan makanan di mulutnya. What the f...! Umpatku. Aneh banget sih? Kalu emang niatnya nyari menantu Batak, ngapain juga Jono berani-beraninya ngedeketin elo? Udah gitu, buat apa ngajak Mbak Doni ketemu keluarganya kalau pada akhirnya nggak diterima? Tono juga nggak bisa menahan emosinya. Tapi kayaknya emang penting banget buat orang Batak buat nikah sama sesama orang Batak, Mbak Lely menengahi dengan sikap lebih dewasa.
If so, hes supposed to look for Batak girl first place, sahutku emosi, dengan pakai bahasa Inggris sekenanya. Tapi sebenernya ada yang lebih parah. Hal yang cuma gue yang nggak tau, kata Mawar melanjutkan ceritanya. Jadi sebenernya, waktu ada event sosial dari sekolah dulu, Jono itu lagi dijodohin sama cewek lain, orang Batak. Ya udah, sama itu aja, repot amat, selaku sambil mengaduk es teh di hadapanku. Dijodohin gimana maksudnya? Tanya Mbak Lely. Let say namanya X. Jadi si X ini pernah sama-sama suka sama Jono, tapi terus nggak jadi. Nah, di acara itu, pendetaku sengaja mempertemukan mereka berdua biar CLBK. Hmf, preett. GanLelyn Tono yang mencibir. Tapi waktu itu X lagi deket sama Y, Y ini sama kaya gue, orang jawa. Y juga tau kalau Jono pernah suka sama X. Jadi waktu itu, waktu dia masih ngedeketin gue, dia sama Y sama-sama berusaha pedekate sama X. Jono, X, dan Y, mereka semua tahu kalau gue lagi deket sama Jono, dan mereka semua juga tahu kalau Jono dan Y sama-sama bersaing mendapatkan X. Mereka semua tahu itu, cuma gue yang enggak! Ya ampun, kok jahat banget sih? Jono ngedeketin elo, tapi juga pedekate sama cewek itu? Mbak Lely menyela sambil nggak berhenti main gadget di tangannya. Hhh, ya gitu deh. Tapi kan X akhirnya nerima Y, mereka malah mau nikah bentar lagi. Makanya mungkin Jono ngotot sama aku sampai dibawa ke Jakarta. Secara nggak langsung elo cuma cadangan dong, Doni, kataku. Iya, mungkin dia untung-untungan, diterima keluarga ya sukur, nggak ya udah, lanjut Mbak Lely. Lah, kok enak banget. Dia pikir dia siapa? Cibir Tono. Terus elo kalau di sekolah gimana? Tanya Mbak Lely. Ya biasa aja. Gue nggak terlalu perduli sih, jawabnya. Kalau elo jadi gue gimana, Li? Tanyanya padaku tiba-tiba.
Aku berhenti menghisap es tehku dan memandang Mawar sejenak. Temanku yang satu ini, semua orang bilang dia sempurna. Cantik, agamis, pintar, pandai memasak, rajin, dan baik hati. Tapi kalau dipikir lagi, kesempurnaan itu justru jadi kelemahannya. Orang seperti dia, perempuan seperti dia, cuma ada di cerita dongeng, seperti Snow White, Cinderella. Separah apa pun dia dijahati orang, dia akan bilang Ya udah, nggak apa-apa. Dia adalah orang yang mudah sekali memaafkan kesalahan orang, bilang maaf atas kesalahan yang nggak dia lakukan dan berterimakasih meski pun itu nggak perlu. Sekarang dia bertanya bagaimana kalau aku berada di posisinya. Aku bukanlah dia. Kalau aku punya peran di sebuah dongeng, maka aku pasti akan jadi pohon, yang nggak akan perduli pada apa yang terjadi di sekitarku. Tapi bila ada yang membuatku jengkel, maka aku akan berubah jadi Troll, monster pohon yang jelek dan menakutkan yang bisa menghancurkan apa saja. Maka untuk menjawab pertanyaan Mawar itu, Kalau gue jadi elo, gue akan menghadapi dia secara frontal. Gue akan tanya apa maksud dia ngajak gue ketemu orang tuanya tapi terus nggak ada kejelasan sama sekali. Nggak menghubungi, nggak ada perkataan apa pun. Elo cowok apa bukan? Ngejelasin gini aja nggak bisa! Gue akan bilang gitu. Ya, elo tau sendiri kan gue ini gimana? Judes, galak, gampang jutek, gue orangnya nggak terimaan. Jadi gue pasti akan ngomong gitu ke dia. Elo akan ngomong gitu Li? Tanya Mawar. Ya, beginilah sifatku, bertolak belakang dengan Mawar. Sifat yang aku yakini sebagai sifat burukku. Kasar dan nggak feminin sama sekali. Aku meyakini sifat inilah yang membuatku nggak bisa punya cowok. Tapi kemudian Mawar bilang, Gue iri sama elo. Menurut gue elo tuh nggak judes atau galak. Menurut gue elo tuh tegas. Dan gue pingin banget bisa kayak elo. Tapi gue nggak bisa, aku Mawar. Iya Mbak Doni. Mbak Doni tu terlalu baik, makanya gampang digituin. Sekali-kali harus frontal, biar orang-orang kaya Jono tuh nggak seenaknya. Tono mendukung pemikiranku. Elo tuh terlalu polos kok, Doni, komen Mbak Lely. Mawar tertawa sambil menyibakkan rambut bergelombang sebahunya. Iya emang, gue suka dikata-katain adik gue, dibego-begoin karena nggak tegas, katanya dan tertawa lagi.
Kami bertiga, aku, Tono dan Mbak Lely ikut ketawa melihat tingkah Mawar yang terlihat sangat polos dan kekanak-kanakan. Tapi aku berpikir lagi, nggak mungkin dia akan segampang itu menajalani kisah ini. Sepolos, selugu, setolol apa pun seorang perempuan, yang namanya penghianatan dan kebohongan, sekecil apa pun luka yang digoreskan cowok yang disayangi, lukanya akan membekas dalam dan butuh ketegaran buat menyembuhkannya. Kalau itu adalah aku, aku pasti udah bersembunyi dari dunia ini beberapa waktu, bukan untuk menguatkan diri, tapi untuk menangis, mengasihani diri dan mengutuki semuanya. Tapi Mawar, dia bisa berjalan dengan tegak di atas high heelsnya, matanya tetap bersinar, senyum dan tawanya tetap riang. Nggak peduli seberapa sakit hatinya karena ditolak cowok, dia tetap berjalan ke depan dan bersikap optimis untuk mendapatkan yang terbaik. Perempuan seperti dia, yang dengan polosnya iri pada perempuan antagonis seperti aku, nggak pantas mendapatkan cowok gendut kadaluarsa kayak Jono.
0 komentar:
Post a Comment