Ya Allah engkau yang mengetahui isi hatiku mudahkanlah hamba untuk membahagiakan kedua orang tua hamba dan orang-orang yang ku sayangi
Ibu, seperti apa rasanya melahirkanku? Memilih untuk berdiri di antara kehidupan dan kematian demi hadirnya sebuah nafas baru
Dulu, seorang teman pernah bertanya, mengapa aku mulai belajar menulis. Kujawab, agar jika nanti Allah memanggilku terlebih dulu, ibuku bisa tahu apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan, dan apa yang kuinginkan, saat aku masih hidup. “Kau sangat jarang bercerita”. Itu katamu.
Ibu, kau pasti mengalami milyaran kesulitan saat membesarkanku, bukan? Entah aku yang memang pelupa atau memang hal ini adalah sebuah fakta, bahwa rasanya telepas dari masalah-masalah kecil yang ada, hidupku sungguh bahagia. Sungguh membahagiakan. Memiliki seorang ibu yang penuh cinta, bapak yang luar biasa, serta kakak dan adik laki-laki bagaikan penjaga jiwa. Aku tahu aku terlalu mudah merasa bahagia. Tapi bersama kalian, percayalah, aku merasa sungguh bahagia. Aku benar-benar menikmati kesederhanaan yang Ibu dan Bapak ciptakan dalam keluarga kecil kita.
Ibu, terkadang aku berharap kau sedikit saja menunjukkan rasa lelahmu. Atau keluh kesahmu. Atau setidaknya helaan nafasmu. Sedikit saja. Seumur hidup aku mengenalmu, rasanya kau sama sekali tak pernah melakukannya, setidaknya di hadapanku. Kau selalu berdiri di sana. Tersenyum dengan menggenggam setumpuk kasih sayang setara ribuan pelukan. Sibuk membanjiri hati kami dengan cinta lewat berbagai cara.
Ibu, semakin lama aku hidup, rasanya semakin sering saja aku membuatmu khawatir. Ke depannya, jika Allah masih memberiku umur dan kesempatan, mungkin aku akan jauh lebih sering membuatmu khawatir lewat berbagai keputusanku. Tak apakah jika seperti itu, Ibu? Aku berjanji, aku akan belajar lebih baik lagi dalam menenangkanmu. Iya iya, aku tahu kau selalu yakin padaku. Tapi kita berdua tahu, selamanya hal itu tak akan pernah cukup untuk membuatmu berhenti mengkhawatirkanku. Atau memang seperti itulah naluri seorang ibu?
Ibu, kira-kira bagaimana kabarmu 10 atau 20 tahun lagi? Aku membayangkan kau sedang duduk di teras rumah, sibuk mengamati bunga-bungamu, atau sibuk mengganti gorden lama dengan gorden model terbaru, lalu memasak, dan melakukan banyak hal lain “hanya” untuk memastikan bahwa gelar nenek terbaik sepanjang masa tak lepas dari tanganmu.
Ah Ibu, kau akan selalu sehat dan baik-baik saja, bukan? Rasanya kehidupan selalu memiliki caranya yang unik untuk membuktikan bahwa kita salah. Aku tak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa kehadiranmu. Aku tahu, kita sudah sangat lama tidak benar-benar tinggal bersama. Sejak SMA, kuliah, hingga bekerja, kamar kos lebih sering menjadi tempat tinggalku dibanding rumahmu. Rasanya begitu banyak waktu yang kuhabiskan dengan tidak berada di sisimu, untuk setidaknya memijat pundakmu atau mendengarkan cerita terbarumu tentang berbagai hal yang terjadi di rumah hari itu.
Ibu, kira-kira bisakah aku saja yang merawatmu saat kau tua nanti? Aku tahu dalam agama kita, anak laki-lakilah yang paling bertanggungjawab atasmu, tentu tanpa sedikit pun menghalangi wujud baktiku padamu. Aku tak tahu kehidupan macam apa yang akan kujalani ke depan. Aku pun ragu, apa benar aku mampu menjaga Ibu kelak. Tapi, tak ada kekhawatiranku soal masa depan melebihi kekhawatiranku tentangmu. Tak ada. Maka, suatu hari nanti, bisakah kau memilih untuk tinggal bersamaku saja? Atau setidaknya tinggal dekat denganku. Seperti Ibu dan Mbah Uti saat ini. Berikan aku waktu agar aku bisa menjadi seorang anak yang mampu melindungimu. Lalu kumohon, izinkan aku menemami masa tuamu. Merawatmu. Menjagamu. Mendengarkan segala ceritamu.Hingga, kau tak perlu lagi khawatir. Karena kau tahu, kau memiliki seorang anak perempuan yang dapat kau andalkan.
"Jagalah orang tua dan mereka yang kau cintai dekat di hatimu. Janganlah putus doamu bagi kesehatan dan kebahagiaan mereka. Selalu peliharalah kelembutan dan kemesraan dalam kata-katamu. Karena kau tak akan pernah tahu kapan kelembutanmu akan menjadi kelembutan yang terakhir dalam hidup mereka. Atau hidupmu."
0 komentar:
Post a Comment