Sandal Jepit Joko
Mana sandal jepitkuu....Suara berat Joko membelah keributan orang-orang yang baru saja keluar dari masjid.
Mencari sandal adalah kesibukan khas setelah shalat tarawih di masjid. Dan Joko sekarang sedang berjalan mondar-mandir dari sisi masjid sebelah kanan ke sisi sebelah kiri.Mana kutahu, sahut Jono sambil berdiri di teras, memandangi kerumunan orang di halaman masjid yang mulai pergi satu persatu.
Bantuin kenapa?
Joko menghentikan langkahnya di depan Jono. Bibirnya mengerucut. Keningnya berkerut-kerut. Jono tertawa. Bahunya berguncang.Ih, ngambek. Sandal ilang sendiri kok ngambeknya sama aku. Sambil tertawa, Jono menyusuri pinggiran teras masjid. Dari sisi kanan ke kiri. Persis seperti Joko.Nggak ada tuh. Seru Jono setelah dua kali bolak-balik. Joko duduk di pinggiran teras bagian depan masjid. Wajahnya terlihat sedih. Jono menghampiri Joko dengan sepasang bakiak di tangan.Ini. Pakai ini dulu. Besok malam dikembalikan. Aku udah bilang sama yang jaga masjid. Pinjam dulu.Nggak mau.
Jelek. Joko menggeleng cepat.
Halaahh. Jono menyahut tak sabar. Sandal udah ilang masih pakai gengsi segala. Ia menggelengkan kepala melihat Joko. Sahabat yang dikenalnya sejak tahun lalu itu memang punya gengsi setinggi langit.Nih. Pakai ini kalau gitu. Jono melepas sandal jepitnya yang berwarna hitam polos. Diletakkannya sepasang sandal jepit itu di dekat kaki Joko. Lalu, Jono menyelipkan kaki-kaki mungilnya ke dalam bakiak.
Ayo, pulang.Kekecilan, protes Joko saat memakai sandal jepit Jono.Cerewet, ah. Ayo, pulang, seru Jono tak sabar. Jono berjalan hati-hati melewati batu-batu bercampur lumpur di halaman masjid. Bakiak membuatnya tak leluasa berjalan. Jika sudah begini, Jono akan memuja penemu sandal jepit. Sandal jepit memang paling nyaman di kaki.
Tunggu, teriak Joko. Sebentar kemudian Joko sudah menjajari langkah Jono.Besok bantu cari sandal jepitku lagi, ya.Doh! Jono menepuk keningnya.
Penting banget ya sandal jepit itu?
Iya, dong.
Kado ultah dari cinta pertama, ya? tebak Jono asal.
Iya. Joko menjawab lirih.
Ha? Jono menghentikan langkahnya. Kaget setengah mati.Beneran?
Iya. Dari Eti. Suara Joko semakin lirih.
Seandainya malam tak begitu gelap, pastilah Jono bisa melihat wajah Joko memerah. Jono tergelak. Ayayaya. Kado ultah sandal jepit! Unbelievable! Ekonomis. Murah meriah. Hemat maatt.
Sialan. Joko menonjok bahu Jono.Itu peninggalan Eti satu-satunya. Dia pindah ke Australia. Jadi kusimpan baik-baik.Memang kalian masih jadian?
Nggak.Ya sutrah. Ikhlaskan saja sandal itu. Yang lalu biarlah berlalu. Nggak mau. Sudah lupakan saja semua rasa yang pernah adaaa, Jono bernyanyi sumbang.Enggak maaaauuuuuu.
* * * Masjid sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang membaca Quran di dalam masjid. Di luar masjid terlihat sepasang manusia berjalan hilir mudik menyusuri teras. Siapa lagi kalau bukan Joko dan Jono. Nggak ada, tuh. Ucap Jono sembari duduk di teras masjid. Joko masih belum menyerah. Mencoba mencari sandal jepitnya di semak-semak. Sejak berangkat tarawih tadi, Joko sudah memberi aba-aba pada Jono untuk melihat setiap orang yang masuk ke masjid. Mengawasi sandal mereka satu persatu.
Siapa tahu sandal jepit Joko yang hilang kemarin nongol lagi. Jono menolak mentah-mentah. Tapi Joko menyebut-nyebut persahabatan dan setia kawan. Joko menuduh Jono tak setia kawan. Akhirnya, demi persahabatan, Jono harus rela mencari sandal jepit itu lagi.Ya ampun, Jokoii, Jono akhirnya frustasi. Matanya lelah memelototi berpuluh-puluh pasang sandal jepit.
Segitunyaaa. Kan cuma sandal jepiittt.Tapi itu berarti banget buat aku, kilah Joko. Tangannya sekarang sibuk menyibak ilalang tinggi di dekat pagar.Begitu berartinya ya, sampai-sampai niat kamu ke masjid malam ini bukan untuk shalat tarawih, tapi untuk cari sandal jepit. Jono mendengus kesal.Kenapa sih kamu nggak bisa ngertiin aku? Sudah kubilang itu satu-satunya kenangan dari Eti. Udah lama Eti pergi dan aku nggak tahu kapan ketemu dia lagi.Ya ampyunn.
Jono menepuk keningnya lagi.Itu kan kelas satu SMP. Udah berapa tahun? Udah hampir lima tahuunnn. Belum tentu juga Eti ingat kamu. Ih, capek deehhh. Kali ini Jono menepuk kening dengan dua tangan. Joko yang sekarang berdiri di depan Jono jadi sebal.Lebai kamu itu.Lah, kamu yang lebai. Sahut Jono tak mau kalah.Cuma sandal jepit.
Udah lima tahun. Udah bulukan. Udah ilang. Lah, mau diapain lagiiii. Suara Jono jadi mirip lolongan serigala.Menyebalkan kamu itu, Joko memandang Jono sengit.Joko sayaaanngg¦. Ingatlah apa kata Pak Ustad. Apa pun yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan Allah. Sewaktu-waktu Allah bisa mengambilnya kembali. Dan saat waktu itu tiba, kita harus siap. Kita harus ikhlas. Tuk! Joko mengayunkan peci hitamnya ke kepala Jono. Dia membalikkan badan. Melangkah cepat-cepat keluar dari halaman masjid. Jono mengelus-elus kepalanya. Kemudian bergegas menyusul Joko.Tungguuuuu.
* * * Jono mengernyit. Keningnya dipijit-pijit. Kenapa masalah sandal jepit jadi begitu rumit. Kemarin malam, sekali lagi Joko memaksa Jono membantunya mencari sandal jepit. Malam kelima sejak pertama mereka shalat tarawih dan sejak Joko meributkan sandal jepit yang hilang. Sandal jepit yang sudah bulukan. Jono tak tahu apa warna aslinya. Yang terakhir dia lihat, sandal jepit Joko berwarna kelabu. Jono tahu Joko begitu menyayangi sandal jepit itu. Sandal jepit dari cinta pertamanya saat SMP.
Sejak dulu Joko selalu bercerita tentang Eti, walau tak pernah sekali pun menyebut soal sandal jepit. Dan sebagai sahabat yang baik, Jono rela mendengarkan cerita apapun dari Joko. Sekarang sandal jepit kesayangan itu hilang. Bencana bagi Joko. Bencana juga bagi Jono. Karena setiap malam, agendanya sebelum dan sesudah shalat tarawih adalah menyusuri pinggiran teras mencari sandal jepit Joko. Lama-lama Jono bisa jadi gila. Masalah sandal jepit ini sudah mulai tak wajar. Joko harus segera dihentikan. Dia harus segera disadarkan. Dikembalikan ke jalan yang benar. Karena itu, siang ini, Jono pergi ke supermarket. Membeli sandal jepit berwarna kelabu untuk Joko. Jono mengerti jika pemberian seseorang yang sangat berarti di hati tak akan bisa tergantikan oleh apa pun. Tapi Jono juga tak rela sahabatnya itu bermuram durja setiap malam hanya karena sandal jepit. Jono tersenyum. Sandal jepit kelabu kini sudah di tangannya. Nanti malam tinggal memberikannya ke Joko. Dan Jono sungguh berharap keajaiban terjadi; Joko mau menerima sandal jepit kelabu itu.
* * * Malam ini Jono berjalan pelan di sebelah Joko. Otaknya sibuk mencari kata-kata yang pas untuk dikatakan tanpa membuat Joko terluka. Tangan kirinya membawa plastik berisi sandal jepit. Tangan kanannya mendekap Quran dan mukena.
Jok, panggil Jono tanpa melihat ke arah Joko.Ya? Sudah berapa lama kita kenal? Joko menghentikan langkahnya.Tumben tanya gitu.
Aneh. Kenapa? Pandangannya menyelidik ke arah Jono yang terlihat salah tingkah.Ya, nggak apa-apa. Tanya aja.
Berapa lama?
Setahun lebih.Masih ingat gimana kita pertama kenal?
Kali ini Jono mengangkat wajahnya menatap Joko. Senyum terulas di wajahnya yang manis.Ingat, Joko balas tersenyum.Waktu itu masa orientasi sekolah. Pulpen kamu satu-satunya hilang. Kamu menangis karena itu pulpen kenang-kenangan dari Om kamu yang di Jepang. Parahnya lagi, kakak kelas kita marah-marah gara-gara kamu nggak bisa nulis daftar nama semua murid kelas satu. Cengiran muncul di wajah tampan Joko.Dan kamu mengulurkan pulpenmu. `Pakailah`, katamu waktu itu. Senyum Jono terus terkembang mengingat itu. Sejak saat itu dia dan Joko bersahabat erat. Mereka ternyata tinggal di komplek perumahan yang sama. Tapi tak saling kenal karena sejak dulu tak pernah satu sekolah.
Sekarang aku ingin membalas budi, kata Jono takut-takut.Maksudnya? tanya Joko tak mengerti.Pulpenku yang hilang diganti sama pulpenmu. Sekarang, sandal jepitmu yang hilang, kuganti dengan ini ya, Jono mengulurkan kantong plastik kepada Joko. Joko membuka plastik itu dan terdiam memandangi sepasang sandal jepit kelabu di tangannya.Memang nggak akan pernah sama. Tapi aku nggak suka kamu sedih tiap malam, ucap Jono lirih.
Joko bergeming. Tak satu pun kata-kata keluar dari mulutnya.Loh kebetulan! sebuah suara mengagetkan Joko dan Jono.Ketemu kalian di sini.
Kok nggak ke masjid? Malah berdiri di pertigaan gini. Mbah Surip bergegas menghampiri mereka. Tangan kanannya membawa sesuatu yang dibungkus plastik dan dililit karet.Iya, Mbah. Ini lagi mau jalan, sahut Jono malu.
Oh.. Sesepuh desa itu berdiri di dekat mereka berdua.Ini, Mbah mau kembalikan sandal jepit Nak Joko. Mbah udah baca pengumumannya di masjid.
Maaf ya, Nak Joko. Mbah nggak sengaja. Sandal jepitnya waktu itu ketukar. Terus setelah itu Mbah sakit dan tarawih di rumah. Baru kemarin malam tarawih di masjid lagi dan tahu kalau itu sandal jepit Nak Joko. Mbah Surip memberikan bungkusan itu pada Joko. Ayo, cepetan ke masjid. Nanti keburu komat. Seru Mbah Surip seraya berjalan menuju masjid.Iya, Mbah. Sahut Jono lagi. Joko membuka bungkusan dari Mbah Surip.
Dikeluarkannya sandal jepit kelabu yang hampir seminggu ini dicarinya. Lalu, dipandanginya dua pasang sandal jepit kelabu di tangan. Sepasang baru. Sepasang lagi dari masa lalu. Joko memasukkan sandal jepit yang lama ke dalam kantong plastik. Kemudian, sandal jepit kelabu baru diletakkan di tanah. Joko melepaskan sandal jepit yang sedang dipakainya. Setelah itu, kaki-kakinya menyelusup masuk ke dalam sandal jepit kelabu baru. Sandal jepit yang tadi dipakainya dimasukkan ke kantong plastik. Joko memandang Jono.
Terima kasih. Mata Jono berkaca-kaca.Aaahh.
Ayoo cepaatt. Nanti kita telaaatt. Jono melangkah lebar-lebar meninggalkan Joko yang segera berlari menyusulnya.
*** *Dimuat di Tabloid Gaul No. 33 (23-29 Agustus 2010)
0 komentar:
Post a Comment