Paranoid
Menjadi wanita cantik, pintar, dan berasal dari keluarga kaya dan terpandang adalah impian semua wanita. Aku punya itu semua tanpa ada yang kurang, tanpa cela. Hidupku nyaris sempurna. Dengan tinggi 165 cm dan berat 56 kg, kulit putih, rambut panjang dan lekukan tubuh bak biola, rasanya aku tak kalah dengan artis-artis ibukota. Sayangnya, aku tak punya impian menjadi artis, apalagi model yang setiap lekukan tubuhnya terkadang bebas dilihat bahkan dijamah pria. Aku memang beda dengan yang lain. Kenalkan, namaku Mawar dan aku adalah Miss Elegant.
Kata orang, jangan pernah takut ketika kamu dibenci, karena sebenarnya mereka yang membencimu tahu betul bahwa kamu memiliki sesuatu yang tidak mereka miliki. Sebagai seorang yang sangat elegan dan mempunyai kepercayaan diri tinggi, aku tahu akan menghadapi situasi seperti ini. Aku tahu ada konsekuensi bahwa aku akan dibenci oleh mereka yang iri, terutama para wanita. Bagaimana tidak? Di sekolah baruku, ada seorang teman bernama Maw yang terkenal cantik dan mempesona. Sayang sekali sejak kedatanganku di sekolah itu, popularitas Maw turun drastis. Akulah sang ratu. Dimanapun aku berada, aku adalah sang ratu dan satu-satunya ratu yang layak dikagumi. Aku tak terkejut bila Maw dan banyak wanita lain yang kutemui selama hidupku mengakhiri hubungan kami dengan kebencian. Aku adalah wanita yang terbiasa sendiri. Dimanapun aku sendiri, selalu ada kumbang-kumbang yang datang menemaniku.
Lelaki pertama yang kukecewakan adalah Billy. Billy adalah ketua klub basket di sekolahku. Sudah barang tentu badannya tinggi dan atletis. Ia sering menjadi bulan-bulanan wanita dan senantiasa dipuja-puja. Seperti Al yang di televisi itu. Banyak sekali temanku yang suka kecentilan kalau bertemu Billy. Billy cukup cool menghadapi mereka. Dia tetap ramah pada semua wanita yang mengejarnya, namun tidak pernah menebar harapan. Billy hanya menganggap para wanita itu teman, karena aku tahu di mata dan hatinya hanya ada aku. Aku lagi-lagi menjadi ratu; ratunya Billy yang dikejar-kejar banyak wanita. Aku tak perlu mengejarnya, tak perlu kecentilan atau harus tebar pesona. Cukup bersikap biasa saja dan banyak tersenyum bila bertemu Billy, maka dia akan mendekat dengan sendirinya. Kenyataan ini membuat banyak wanita semakin iri dan semakin benci padaku. Tidak hanya di sekolah ini, berkali-kali aku pindah sekolah dan mendapat hal yang sama. Para wanita itu tidak sehat pikirannya. Mereka berhati kotor dan berpikiran busuk. Apa salah kalau aku lahir dengan banyak kelebihan dibanding mereka? Walau aku juga menginginkannya, tapi bukan aku yang membuat pribadi sempurna seperti ini. Aku juga tak tahu bagaimana wajah cantik dan tubuh indah ini bisa menempel di tubuhku, padahal ibu dan ayahku biasa saja.
Walaupun nampak kampungan, ayah dan ibuku sekarang menjadi terpandang karena usaha mereka sukses. Dulunya mereka hanya petani biasa. Ayahku tidak sia-sia menyekolahkan aku fakultas pertanian sebuah universitas ternama. Dengan kepandaianku, aku membantu ayah mengembangkan bahan pangan organik varietas unggul. Aku juga memperkenalkan ayah pada distributor-distributor bahan pangan organik. Usaha ayah berkembang pesat. Keluarga kami sekarang mampu mempekerjakan para tetangga untuk memproduksi dan menjual bahan pangan organik bersama. Ayah dan ibuku menjadi terpandang dan kaya. Mungkin aku adalah bidadari kiriman Tuhan yang dititipkan untuk menyelamatkan keluarga ini dari kemiskinan dan kebodohan. Di sekolah, teman-teman wanita yang iri padaku berusaha menjatuhkan popularitasku. Ketika ada laki-laki yang mendekatiku, mereka mencoba menyebarkan berita miring tentang riwayat keluargaku yang hanya petani biasa. Mereka juga berkata aku anak hasil perselingkuhan ibuku dengan mandor sebuah toko franchise besar. Karena itu aku cantik dan terlihat kaya. Kehidupanku yang glamor dinilai sebagai hasil suntikan dana dari bos besar itu. Sungguh wanita-wanita yang dalam hatinya penuh kebencian. Mereka tidak pernah tahu jalan hidupku yang penuh keajaiban. Aku nyaris tidak pernah mempedulikan berapa banyak orang yang membenciku atau mencoba menjatuhkanku. Mereka hanya berani bicara di belakang karena mereka tahu tidak ada tempat untuk beradu mulut dengan wanita pandai sepertiku. Aku juga tidak takut kredibilitasku jatuh di mata teman-teman pria yang mengejarku. Pesonaku tak pernah hilang. Nyatanya, mereka tetap mengejarku. Kalaupun ada satu atau dua yang kemudian menjauhiku, itu karena mereka tahu mereka tidak akan bisa mendapatkanku.
Semua berubah sejak aku bertemu Jono. Lelaki ini memang penuh pesona. Jono adalah satu-satunya lelaki yang sepadan denganku. Wajahnya tampan, badannya bersih dan gagah, senyumnya luar biasa, dan pemikirannya seringkali di luar nalarku. Kepandaiannya dalam berdiskusi seringkali membuatku kewalahan. Dia bagiku seorang Mr. Innocent. Dia punya segala kelebihan yang didambakan wanita, namun tidak pernah menyadari kelebihannya. Itu membuatnya tidak pernah terlihat sombong. Sayangnya, Jono berbeda dengan Billy. Billy akan mengerahkan segala upaya untuk mengejarku, namun tidak dengan Jono. Jono seakan tidak pernah menyadari kehadiranku walau aku adalah wanita tercantik dan terpandai di sekolah. Jono terkadang membuatku jengkel karena sikap acuhnya, tapi aku tak bisa berpaling dari mengaguminya.
Akhir-akhir ini, hidupku terasa agak kacau. Kekacauan itu makin hari makin menjadi. Ini bukan hanya karena Jono acuh tak acuh terhadapku. Teman-teman wanita yang dari dulu membenciku itu kian hari kian agresif. Maw tiba-tiba muncul di sekolah baruku dan mengajakku bertengkar. Kami sampai bergulat berguling-gulingan hingga rambut acak-acakan. Aku pulang kusut. Ayah dan ibuku terkejut sekali. Paginya mereka dipanggil ke sekolah. Ibuku menangis menjadi-jadi di rumah.
“Aku tidak salah, Mama. Maw tiba-tiba datang ke sekolah dan mengajakku bertengkar. Aku tidak salah. Aku tidak suka dengan Billy. Dia bisa bersama Billy bila dia mau, tapi Billy tidak suka dengannya. Billy menyukaiku, tapi itu bukan salahku. Aku tidak salah.” kataku mencoba menjelaskan.
Mama menangis semakin menjadi, sedangkan Ayahku duduk di kursi seperti berpikir keras apa yang terjadi. “Apa hubungannya dengan Maw? Apa ini ada hubungannya dengan Maw?” tanya Ayah sambil mendekatiku.
“Iya, Papa. Maw datang mengajakku bertengkar.” Kataku meyakinkan Ayah.
“Tapi...”
“Papa percayalah. Aku tidak pernah mengecewakan Papa. Aku anak Papa yang baik dan penurut. Kalau aku sampai bertengkar di sekolah, pasti ada sesuatu. Sesuatu itu Maw, Pa. Dia mencariku.”
“Masuk kamar dan berhentilah memanggilku Papa!” bukannya mempercayaiku, Ayah mengeluarkan suaranya yang menggelegar hingga badanku bergetar. Tangisan Mama semakin menjadi.
“Papa...” ucapku terbata-bata seakan tak percaya begitu marahnya Ayah mendengar aku bertengkar di sekolah. “Masuk kamarmu sekarang!”
Aku merenung di kamar. Inilah susahnya menjadi wanita cantik dan baik. Susah sekali menjadi pribadi yang terlihat sempurna seperti aku. Aku tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun. Aku tidak boleh nakal, tidak boleh lupa, tidak boleh salah, tidak boleh tidak tahu, tidak boleh punya nilai jelek, dan masih banyak tidak boleh-tidak boleh yang lain. Aku seperti ratu yang selalu harus tampil sempurna dan menawan. Bertengkar di sekolah bukan kesalahan yang besar, tapi menjadi besar karena aku adalah seorang ratu. Aku rasa respon ayah terlalu berlebihan hingga tak mau lagi menganggapku anak, tapi aku tahu terlalu sulit bagi ayah bersikap bijak dengan pendidikannya yang tak seberapa. Hingga tengah malam aku mendengar ayah dan ibuku samar-samar berbicara. Entah apa yang dibicarakan. Aku tidak berani keluar mengingat kemarahan ayah tadi. Tak terasa air mataku mengalir. Aku benar-benar tidak ingin menjadi sempurna. Aku ingin menjadi biasa saja, asal aku tidak dibenci. Air mataku masih terus mengalir hingga larut malam, hingga mataku berat dan aku tertidur.
Paginya suasana di rumah seperti biasa. Ibu membangunkanku dengan hangat dan memintaku untuk mandi. Selesai mandi, sarapan sudah siap. Sebelum berangkat sekolah, ibu memelukku dan mencium pipiku lebih hangat dari biasanya. Mungkin ibu ingin menunjukkan bahwa setelah keributan kemarin, semua baik-baik saja. Berbeda dengan ibu, ayah tidak berkata apa-apa. Tidak juga meminta maaf atas ucapannya yang mungkin kelepasan kemarin. Berbeda dengan di rumah, kondisi di sekolah makin huru-hara. Satpam bersikap sengit. Teman-teman juga melihatku sinis karena sang ratu terlibat pertengkaran kemarin. Aku berhenti sebentar, menarik nafas panjang dan menghembuskannya sesaat. “Biarkan orang berkata apa, aku adalah aku. Aku harus kuat.” kataku dalam hati sambil melangkah melewati koridor menuju ke kelas.
Ketika pelajaran berlangsung, hal aneh kembali terjadi. Maw kembali muncul di sekolah. Ia memasuki kelas dengan pandangan bengisnya, bahkan tanpa meminta izin pada guru kelas. Ia berdiri di pojok depan ruang kelasku dan terus menatapku. Aku tidak gentar. Apapun yang akan dilakukannya, aku siap menghadapinya. Yang aku heran, guruku diam saja. Maw terus menatapku, kadang tersenyum bengis dan sinis. Aku benci sekali dipandang seperti itu.
Ketika pelajaran selesai, Maw mendatangiku dan berkata, “Aku tahu, ayahmu sudah tidak mau lagi menganggapmu anak. Sudahlah akui saja. Kamu memang anak hasil selingkuhan ibumu dan bos besarnya itu.” Aku diam saja mendengar celotehan Maw yang sengaja memancing emosiku. Aku tidak akan berkelahi di kelas untuk kedua kalinya. Setelah bel berbunyi Maw kembali masuk ke kelasku.
Ketika guruku sedang mengajar, Maw mengambil marker dan menulis besar-besar di papan tulis. Cantik, pintar, kaya, tapi sayang anak haram!
“Ibu!” teriakku serta merta karena kehilangan kesabaran.
“Ya, Mawar. Kenapa berteriak begitu?”
“Kenapa ibu diam saja? Kenapa ibu diam saja ketika ada murid sekolah lain datang ke kelas tanpa izin ketika ibu mengajar? Dia juga menjelek-jelekkan saya. Kenapa ibu diam saja?”
Seisi kelas diam, melihat ke papan tulis yang kutunjuk, kemudian tertawa serempak. Aku tidak tahu apa maksud mereka.
Aku merasa dipermalukan. Aku berlari keluar kelas tanpa peduli guruku memanggil-manggil namaku. Teman-teman sekelasku berlarian keluar kelas. Biarkan saja, biarkan mereka tahu bahwa aku marah dan malu. Aku berlari keluar kelas menuju ke jalan tapi Maw terus mengikutiku. Aku berlari dan dia ikut berlari. Ketika aku berjalan, dia ikut berjalan. Walau kami tak beradu pandang, tapi aku tahu di belakangku mata jalangnya terus menguntit gerak-gerikku. Matanya yang sedari tadi menatap tajam seperti ingin menusuk ulu hatiku. Aku tidak tahu mengapa dia jadi begitu membenciku, tapi aku tidak peduli. Ini bukan salahku. Sampai di rumah, aku langsung berlari mencari ibu.
“Mama...Mama...”
“Ada apa, Nak?”
“Mama, aku tidak tahan. Maw datang lagi ke sekolah. Dia mengikutiku. Mama kenapa mereka benci padaku? Kenapa Maw benci padaku? Aku tidak salah, Mama..” tangisku meledak.
Ibu merengkuhku, melihat mataku yang berlinangan air mata. Ibu nampak sedih, namun berusaha tetap bersikap hangat padaku.
“Nak, sejak kapan kamu memanggil ibu Mama? Ini ibu, bukan Mama. Ayah, bukan Papa. Maw tidak ada.” Aku bingung seperti kesetanan mendengar kata-kata ibu. Apa maksudnya? Sejak hari itu aku tidak lagi dapat mempercayai siapapun bahkan diriku sendiri. Katanya ayahku bahkan menemui teman-teman lamaku untuk mencari tahu apa Maw datang ke sekolah. Kata ayah Maw belajar di sekolah lamaku seperti biasa. Bagaimana ayah bisa lebih mempercayai Maw dan orang-orang di luar sana daripada aku? Ayah juga bilang aku tidak bertengkar dengan Maw di sekolah. Katanya aku berteriak lancang pada guru dan tiba-tiba menjambak-jambak Nina, teman semejaku sambil memanggil-manggil nama Maw. Aku tidak bisa mempercayai siapapun, bahkan ayah, juga diriku sendiri. Kata ayah aku marah-marah dan mengamuk tiap ada temanku yang datang.
Setelah seminggu tidak masuk sekolah karena kekacauan itu, Jono datang ke rumah. Dia bicara dengan lembut padaku. “Na, aku tidak tahu apa kamu akan kembali. Aku menyesal tidak pernah menunjukkan perhatianku padamu...sebagai teman, atau sebagai seseorang yang pernah mengagumi kamu. Aku tahu ini terlambat, tapi aku berharap kamu masih mengingatku, dan kamu akan kembali seperti dulu.” Aku tidak tahu apa yang dikatakan Jono. Jono pulang meninggalkan beberapa lembar kertas berjudul Skizofrenia. Aku segera pergi ke kamar dan mengetikkan kata itu pada browser. “Tidak mungkin...”
***
Besok ayah dan ibuku akan mengajakku berjalan-jalan. Kami akan bersenang-senang setelah lama melepas penat gara-gara kekacauan yang konon aku buat kemarin. Aku juga ingin bersenang-senang. Aku lelah dengan semua keanehan yang muncul belakangan ini. Hari itu kami berangkat naik mobil pinjaman dari tetangga. Mobil kami terus berjalan hingga aku hampir ketiduran. Ketika terbangun, aku sudah memasuki kawasan sebuah rumah sakit. Apa? Rumah sakit? Aku mendadak panik. Aku dibohongi. Mereka tidak membawaku jalan-jalan. Ini rumah sakit jiwa. Aku mencoba keluar dari mobil namun ayah dan ibu menahanku. Aku berusaha menyerang mereka namun orang-orang dari rumah sakit sudah datang menyerbuku terlebih dahulu.
do not leave me jangan tinggalkan saya
berawan com do not leave me jangan tinggalkan saya
0 komentar:
Post a Comment