Friday, May 16, 2014



Jangan membenciku karena aku cantik


Aku cantik. Aku memang cantik. Semua orang bilang aku cantik. Tapi, anehnya kecantikanku membuatku dibenci. Orang tua dan keluarga membenciku karena aku cantik. Ayah selalu marah memerah tiap kali melihatku cantik. Ibu selalu terisak meneteskan air mata bila melihatku berdandan. Kakakku selalu menegurku bila aku bersolek di depan cermin. Adikku juga tidak mau bermain denganku, padahal aku cantik dan sungguh sangat ingin bermain dengannya.

Sekolah, tempatku belajar bersama dengan manusia lainnya, juga sama. Teman-teman bilang aku cantik. Tapi, karena itu mereka menjauhiku. Bahkan, tidak ada yang mau bergaul denganku. Setiap jeda pelajaran, aku selalu sendiri. Setiap menemui kesulitan, tidak ada yang menjadi tempatku bertanya. Guru-guru juga sering kali tidak memperhatikan ketika aku bertanya tentang pelajaran. Semua itu karena aku cantik.

Tidak ada yang mau bermain denganku. Ketika anak seusiaku bisa tertawa riang, lompat tali, berlarian, hujan-hujanan, aku tidak. Mereka semua selalu bubar saat aku mendekat, lalu mengolokku dengan kecantikanku. Di rumah yang riuh, aku selalu merasa sepi dan sendiri karena kecantikan yang Tuhan berikan padaku.

Aku berpikir, mengapa orang-orang tidak menyukai kecantikanku? Bahkan, orang tua dan keluargaku sendiri membencinya. Tapi aku tidak peduli. Bagiku, inilah karunia Tuhan yang diberikan kepadaku. Dan, tugasku adalah menjaga kecantikan yang dikaruniakan itu. Kecantikanku bukan kemauanku, tapi kecantikan adalah realitas dan keniscayaan yang harus kujalani karena aku adalah manusia yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Sekalipun, orang tua yang menjadikanku hadir di dunia tidak suka dengan kecantikanku itu.

Semakin hari, aku merasa semakin terasing dari dunia yang ramai ini. Semakin hari, aku menemukan orang-orang menghinaku karena kecantikanku. Perbincangan tentang kecantikanku semakin berkembang seiring aku tumbuh besar dan dewasa. Ilmuku kian bertambah, hingga menyadarkanku bahwa kecantikanku memang tidak disenangi orang-orang “yang tidak cantik” di sekelilingku.

Tapi, aku adalah aku, yang tetap kujalani sebagaimana aku harus menjalaninya. Aku tidak peduli dengan cibiran orang-orang yang nongkrong di warung kopi bila aku melintas. Tapi, saat aku mampir untuk membeli sesuatu, mereka malah terdiam, tak berkutik sama sekali. Barulah ketika aku pergi, tawa mereka lepas dengan segala sumpah serapah yang membuatku tuli. Tuli dengan semua ucapan dan hinaan orang-orang yang membenci kecantikanku.

Ilmu kemudian membuka tabir hati dan kesadaranku tentang siapa sebenarnya diriku. Orang bilang aku ini adalah waria. Karenanya, kecantikanku dibenci. “Aku adalah perempuan yang terpenjara dalam tubuh laki.” Ya, aku rasa aku adalah perempuan, dan wajar saja aku cantik karena aku memiliki sifat keperempuanan. Sama seperti perempuan lainnya, aku suka dandan dan bersolek di depan cermin. Lalu, salahkah yang kulakukan? Aku ini memang perempuan, meski bukan perempuan yang “sempurna.”.

Orang bilang, aku telah “menjadi waria.” Apa? Menjadi waria? Aku tidak suka dan tidak setuju dengan kata-kata itu. Aku tidak “menjadi waria,” tapi aku memang waria! Menjadi waria berarti seolah ada proses ke arah sana, ada proses untuk menjadikan diri sebagai waria, dari sebelumnya bukan waria. Bagiku, waria itu tidak melalui serangkaian proses sebagaimana dilukiskan oleh orang-orang.

Waria itu bukan keinginanku. Waria itu bukan terbentuk dari konstruksi lingkungan. Waria itu bukan pilihan. Apalagi sebuah proses, sekali lagi, untuk menjadikan diri menjadi waria. Waria bukan proses pendidikan sejak kecil yang suka berdandan. Waria bukan proses pembentukan dari lingkungan dan keluarga. Aku rasa, itu bukan sebuah proses melainkan garis yang tidak bisa dipelencengkan. Ya, itu garis kehidupan.

Aku tidak pernah memilih untuk menjadi waria, sama sekali tidak. Tetapi, kehadiranku sebagai waria adalah karena memang hati dan jiwaku adalah perempuan. Hanya saja, aku terlahir dalam tubuh laki-laki, terpasung dan terbelenggu. Sehingga, jika aku berdandan, itu tidak salah karena fisikku, tetapi karena jiwa alamiahku yang memang punya naluri untuk melakukannya. Jika wajahku seperti ini, suaraku berubah, badan dan jalanku berbeda dengan kalian, itu bukan karena mauku dan bukan kubuat-buat.

Bagiku, yang sesungguhnya terpenting pada seorang waria adalah hati dan jiwanya. Bukan sekadar urusan berdandan dan berekspresi sebagai perempuan. Aku pernah membaca buku. Katanya, “Sejak dalam kandungan, ketika kromosom sudah menunjukkan perbedaan, saat itulah kehidupan waria dimulai. Dan, janin dalam kandungan itu sudah disebut sebagai WARIA!!!” Masyarakat kitalah yang kemudian melahirkan konstruksi bahwa menjadi waria adalah proses dan pilihan. Sekali lagi, aku tidak memilih menjadi waria. Ini bukan pilihanku!

Banyak yang bilang, aku ini adalah laknat. Bahkan, ustad, pemuka agama yang seharusnya hadir memberi kesejukan dan kedamaian batin bagi setiap pemeluk agama, apalagi agamaku: Islam, juga sama. Ada ustad yang melaknatku. Lalu, menghakimi bahwa aku tidak akan mencium baunya surga. ”Apa mereka pikir surga hanya milik ustad. Surga hanya milik orang-orang yang jidatnya hitam, bersorban, lalu paham ilmu agama.” Aneh sekali jika pemahaman agama dipahami sebatas dan sesederhana itu.

Dalam ceramah-ceramah dan khutbah agama, aku sering mendengar mereka berkata: “Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa seseorang yang menyerupai lawan jenisnya (laki-laki yang menyerupai perempuan, perempuan yang menyerupai laki-laki) tidak akan mencium baunya surga. Baginya, neraka jahanam!” Mereka selalu saja mendengung-dengungkan itu sebagai alasan untuk terus memojokkan dan mendiskriminasikan aku. Sebagai alasan bahwa kehadiranku seharusnya tidak ada.

Tapi, aku pikir mereka salah. Mereka merasa dirinya benar, lalu seenaknya menafsirkan hadis. Aku rasa, mereka salah! Dan, itu pemahaman agama yang kolot, sempit, primitif. Aku memang bukan ahli agama, tapi aku paham bahwa yang dimaksud hadis itu bukanlah waria yang ada pada saat ini, yang sering mereka lecehkan. Sekali lagi, yang dimaksud oleh hadis itu bukan waria. Karena, waria itu bukan keinginan. Enak saja aku dituding begitu dengan membabi-buta seolah-olah mereka yang Maha Penentu atas jalan hidup manusia. Seolah mereka adalah malaikat yang punya tugas suci mengajarkan manusia tentang kebenaran berdasarkan persepsi dan pemahaman mereka sendiri. Seakan-akan kaum waria bukanlah ciptaan Tuhan, ataukah ada tuhan lain selain yang menciptakan waria(?!).

Tapi, saya percaya bahwa tidak semua masyarakat berlaku sinis terhadapku. Dan, (semoga) tidak semua waria mendapatkan perlakuan sinis seperti yang sering kualami. Aku yakin, masih ada orang yang mau memahami waria. Masih ada orang yang mau menerima waria dalam pergaulan bahkan dalam bermasyarakat. Masih ada orang yang mau menghormati waria sebagai insan yang beradab, warna negara yang baik, dan sebagai insan religi. Aku yakin masih ada orang yang mau memanusiakan waria.

Aku juga berharap, kalian yang selama ini memandang buruk terhadapku mau belajar tentangku. Kalian yang tidak tahu tentang fenomena waria mau membaca dan berpikir tentang kehadiranku. Karena itu, aku menulis ini. Aku menulis ini agar kalian sadar bahwa aku juga manusia. Juga, agar kalian tidak mengajari anak-anak kalian bahwa waria itu laknat yang harus dikucilkan. Sebab, bisa jadi anak-anak kalian ada yang mendapat “anugerah” untuk cantik seperti aku. Aku menulis juga agar orang tua dan keluargaku mau menerima kecantikanku, sebab aku memang cantik dan aku cantik bukan karena mauku.

Terakhir, aku ingin mengatakan bahwa waria itu kodrat. Waria, seperti aku dan lainnya, bukan karena menentang kodratnya melainkan justru sedang menjalani kodratnya. Bukankah waria yang tidak mau menjalani hidup sebagai waria justru itulah yang mendustai kodratnya?. Sebab aku cantik, dan aku menerima kecantikanku. (Suara hati seorang waria)  

tembak adek bang sebelum adek ditembak petir

berawan com tembak adek bang sebelum adek ditembak petir

0 komentar:

Post a Comment