ya Allah jika sakit ini adalah sebagian dari nikmat yang Engkau berikan hamba ihklas menjalaninya
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk peremouan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” Qs. An-Nur 26
Rahmi Kecewa dengan suaminya, Farhan. Puluhan tahun membina rumah tangga, Farhan tak kunjung merubah sikapnya yang kasar terhadap dirinya. Farhan suka memukul, terlebih bila berkata-kata sangat menyakitkan. Bila mendengarnya, hati Rahmi seperti diiris sembilu. Kata ‘bodoh’ juga ‘tak tahu diri’ kerap dilontarkan Farhan kepada Rahmi, bila ada perkataan atau tindakan Rahmi yang tidak sesuai keinginannya. Rahmi merasa tidak dihargai sebagai istri.
Belum lagi, soal pencapaian spiritual. Dari sejak menikah hingga kini, Farhan belum meningkatkan kualitas ibadahnya. Farhan masih sering meninggalkan shalat. Ia juga belum merutinkan mendaras Al-Qur’an setiap hari. Pun bersedekah ia sangat perhitungkan.
Silaturahim dengan tetangga, juga tidak dilakukan Farhan. Selain tidak akrab dengan tetangga, ia tidak mau bergabung dengan kelompok pengajian di daerahnya. Padahan Farhan masih butuh bimbingan rohani. Kebalikan dari Farhan, Rahmi sangat menjaga betul setiap perkataan yang dilontarkan. Ia tidak pernah membalas kata-kata kasar Farhan. Ia juga menjalin tali silaturahim dengan para tetangga dan aktif di beberapa majelis taklim.
Di tengah malam, ketika keluarganya sedang lelap tertidur, Rahmi acap menjatuhkan kepalanya di atas sejadah, seraya mengadukan segenap kesedihannya atas perilaku Farhan. Menurutnya sudah cukup, ia mengingatkan Farhan untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Kenapa masih ada saja suami yang tidak saleh, padahal istrinya saleh, juga sebaliknya, suami saleh tapi istrinya tidak saleh ?! lantas dimana janji Al-Qur’an yang mempasangkan baik dengan baik, buruk dengan buruk ?
Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, Ketua Litbang PP Fatyat NU yang juga pengajar bidang Tafsir di PTIQ coba mengurai asbabun nuzul Qs. An-Nur : 26 sebagai asal. Ayat ini turun ketika terjadi kebohongan besar (al-lfk) yang menimpa Aisyah Ra. Di sebuah fajar, Rasulullah Saw. dan rombongan kembali dari pertempuran Bani al-Mushthalaq. Tanpa disadari rombongan tersebut, Aisyah turun mencari kalungnya yang hilang hingga tertinggal. Kemudian beliau ditemukan sahabat Nabi yang bernama Shafwan ibn A-Mu’aththil as-Sulami yang pulang belakangan karena bertugas memastikan musuh tidak akan menyerang lagi.
Dibantu oleh Shafwan, Aisyah akhirnya mengejar rombongan. Melihat mereka berdua terpisah dari rombongan, tersiarlah gosip tak sedap bahwa keduanya menjalin hubungan asmara. Ayat tersebut menegaskan bahwa laki-laki baik (Rasulullah Saw) adalah untuk perempuan baik (Aisyah ra.) atau dengan kata lain, Aisyah ra. adalah perempuan baik yang tidak mungkin melakukan selingkuh sebagaimana dituduhkan. Ayat ini dapat pula dipahami sebagai tuntunan secara umum bahwa orang baik agar menikah dengan orang yang baik, karena mereka yang keji hanya layak berpasangan dengan yang keji pula.
Meski demikian, realitas tidak selalu menujukkan ideal karena tuntutan Al-Qur’an agar memasangkan yang baik dengan yang baik, dan yang buruk dengan yang buruk, tidak dipenuhi. Alhasil, banyak perempuan baik dipasangkan dengan aki-laki buruk juga sebaliknya. Petunjuk aya 26 surat An-Nur jelas, yaitu lindungi laki-laki dan perempuan baik dari menikah dengan orang yang keji.
Perlindungan ini dikemas dengan konsep kufu dalam memilih pasangan. Siti Rufiah Padijaya dalam Membincang Masalah Khulu’ terbitan Rahimah, mengatakan kafa’ah (kufu) dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan pasutri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Tekanan dalam kafa’ah adalah keseimbangan terutama dalam hal agama (akhlak dan ibadah). Dianjurkan oleh Islam, tetapi tidak menentukan sah-tidaknya pernikahan serta menjadi hak bagi perempuan atau walinya. Pentingnya kafa’ah disampaikan oleh 4 imam mahzab, mazhab Ja’fari dan mayoritas ulama. Kafa’ah yang dimaksud meliputi juga kepribadian, kecocokan karakter, kesetaraan status sosial, profesi, kesetaraan dalam wawasan budaya dan tidak adanya jarak yang terlalu mecolok.
Nur Rofiah menyambung, Rasulullah Saw. pernah mengingatkan bahwa manusia pada umumnya memlilih pasangan karena kesempurnaan fisik, nasab, dan harta meski memiliki akhlak tercela. Di hadis yang sama, beliau mengingatkan agar memilih pasangan hidup karena agama, yang tentu saja berkaitan dengan akhlak yang bagus sebagaimana ajaran agama. Namun hadis ini kerap dipahami secara keliru di mana Rasulullah Saw. seolah memerintahkan kepada kita untuk mempertimbangkan juga 3 kriteria tersebut dalam memilih pasangan.
“Sesuatu yang penting dari cantik/ganteng, nasab, dan harta yang dimiliki calon pasangan adalah kesadaran bahwa ketiganya tidak abadi sehingga perlu dipandang dengan cara yang arif. Kafa’ah (sekufu atau setara) dalam konsep memilih jodoh tidak diartikan sama-sama ganteng/cantik, kaya, keturunan terhormat melainkan setara dalam cara memandang ketiganya sebagai sesuatu yang relatif karena semuanya dapat berubah drastis di sepanjang usia pernikahan.”ujar lulusan Universitas Ankara Turki yang juga sekjen Alimat (gerakan kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Indonesia) dan anggota pengurus perhimpunan Rahima.
0 komentar:
Post a Comment