mengamankan diri dari fitnah lebih mulia daripada menunjukkan hasrat sekalipun itu fitrah
Gampang Ya, Bilang, "Udah, Putusin Aja!"?
Aku tidak pernah baca buku karangan Felix Siauw yang sempat populer beberapa waktu lalu itu. Ustadz mualaf yang menjadi favorit anak muda karena bahasanya yang ringan dan pendekatannya yang menarik ini kerap mengangkat topik pacaran dalam dakwahnya. Kuakui, he’s got the point, tapi tidak dengan cara yang menyenangkan.
Hal yang sama kualami dari membaca tulisan di fanpage Facebook Darwis Tere-Liye. Penulis yang sempat dikritik habis di media maya semasa kasus PKS karena opininya yang kurang menyenangkan ini kerap mendukung agar tidak ada “pacaran” dan langsung menikah saja. Banyak status fanpage-nya yang memberikan kesan betapa rendahnya laki-laki yang mampu mendekati perempuan sebatas pacaran. Beberapa kalimatnya kurang empati dan aku cenderung tak suka, meski setuju.
Apa yang kalian katakan memang benar, Bapak-Bapak, tapi tidak semudah itu.
Pacaran itu apa? Definisi “pacaran” baur. Walaupun definisi tentang kata berimbuhan ini ada di KBBI, aku tidak akan mengutipnya di sini karena aku tidak puas dengan penjelasannya. Aku akan menjelaskan mengapa.
Pacar dalam KBBI didefinisikan sebagai teman tetap dalam berkasih sayang. Oke, lalu sayang itu apa? Suka sekali, senang. Suka itu apa? Senang itu apa? Perasaan lepas dari susah, perasaan lega. Kata “suka”, “sayang”, “senang”, dan “cinta” ini saling terkait dalam penjelasan masing-masing di KBBI. Aku baru bisa keluar dari perputaran kata ini setelah mencari kata “senang”, itu pun KBBI hanya memberikan anonimnya di penjelasan kata! Rasanya seperti dilempar-lempar dari satu TPS ke TPS lain ketika lupa mengurus form A5 waktu pemilu legislatif hanya untuk mendapat jawaban, “Maaf, yang tidak punya form A5 tidak bisa mencoblos di luar area undangannya,”.
Tidak ada yang jelas dalam aktivitas “pacaran”. Aktivitas ini tidak memiliki parameter jelas dan sesungguhnya tidak berdefinisi. Semua menuruti definisi setiap orang dalam kata “cinta”, yang menjadi dasar aktivitas “pacaran”. Kalau menurut seseorang “cinta” itu menyenangkan diri dengan kehadiran pasangan lawan jenis, maka “pacaran” untukku adalah makan kentang goreng yang dibelikan “pacar” di akhir pekan.
Karena ketidakjelasan itulah, aku berniat menghindarinya. Iya, aku setuju hubungan dengan lawan jenis itu mendekati zina. Sementara argumen orang-orang bahwa “jangan mendekati zina” itu sama baurnya dengan definisi pacaran sendiri, aku berpegang kepada ucapan Rasulullah SAW bahwa menghindari yang meragukan adalah baik. Aku ragu sebatas apa “mendekati zina” dan aku berupaya menghindarinya.
Namun, tidak semudah itu!
Aku sangat kesal dengan hashtag #udahputusinaja. Seakan semudah itu memperlakukan manusia seenaknya. Allah azza wa jalla memang yang terpenting dalam hidup kita. Namun, bukankah Zat Yang Mahaagung ini juga memerintahkan kita untuk menjaga hubungan baik antara saudara sesama muslim? Apakah perintah itu terbatas jenis kelamin?
Tidak semua orang mendapatkan hidayahnya dengan cara yang menyenangkan. Tidak semua orang bisa menerima cara ekstrem dalam informasi baru. Bersyukurlah saudara-saudariku yang terus hidup dalam nilai dan norma yang patut dalam Islam semenjak mengenalnya karena kami tidak. Kami adalah orang-orang yang mencari jalan paling baik untuk bertobat. Yang tidak melukai sesama manusia namun tetap mengutamakan cinta kami kepadaNya.
Dalam menjalani ini, aku menemukan seorang teman senasib sepenanggungan. Kami ingin membatasi hubungan dengan pasangan kami selayak mungkin sesuai aturan Islam bagi lawan jenis tanpa menyakiti perasaan satu sama lain. Kami sama-sama memberitahu pasangan kami, dan sama-sama mendapat respon radikal.
"Kamu bikin aku mempertanyakan ulang Islam"
“Kalo gitu, aku lepas kerudung aja,”
“Kamu nyaris bikin aku ateis,”
“Apa Islam kita sama?”
Sungguh, betapa beratnya!
Kami turut bertanggung jawab akan kesalahpahaman mereka terhadap Tuhan kita semua. Salah dakwah, usai sudah. Akan ada yang lepas kerudung. Akan ada yang berhenti solat.
Kami tidak bisa membohongi diri sendiri. Perasaan itu masih ada. Kami berharap bisa melanjutkannya dengan baik sesuai aturan. Namun tidak sekarang. Ada hal-hal yang harus diurusi. Ada hal-hal yang harus diutamakan dulu. Semua orang punya skala prioritas bukan? Namun sementara waktu itu, kami harus membatasi diri untuk satu sama lain. Untuk itu, kami harus bisa memberikan pengertian yang baik. Agar jika kami tidak bisa bersama pasangan yang kami inginkan, mereka memahami kami untuk alasan yang benar.
Beberapa kali berhasil, seringkali tidak. Alhasil, kami tidak bisa menjadi partisipan penuh gerakan #udahputusinaja. Sampai saat ini, kami masih berhubungan dengan pasangan kami dalam batasan yang semakin jelas. Tidak gampang, kawan, melakukan apa yang “seharusnya” dilakukan. Tapi sungguh, kami berusaha, sambil berharap suatu saat nanti kami bisa menjalani hubungan bersama pasangan kami dengan halal dalam tenang.
Tidak. Memang tidak gampang. Terima kasih untuk selalu mengingatkan kami. Mungkin, karena dunia kita tidak sama, aku hanya ingin mengenalkan suatu sudut pandang, agar Anda sekalian yang berhasil menemukan jalan yang lurus, berempati terhadap kami yang masih mencari.
berawan com mengamankan diri dari fitnah lebih mulia daripada menunjukkan hasrat sekalipun itu fitrah
0 komentar:
Post a Comment