aku tidak pedulu atas keadaan susah senangku karena aku tak tahu manakah diantarnya keduanya itu yang lebih baik bagiku umar ibn khattab
Saat menunggui anak saya yang sedang latihan misdinar menjelang siang tadi, saya duduk di dekat pos satpam. Istri saya sudah menghilang entah ke mana, sepertinya ikut rombongan rumpi ibu-ibu tentang masalah giliran konsumsi anak-anak. Di sebelah saya duduk seorang bapak yang kira-kira seumuran dengan saya. Saya tidak mengenalnya, hanya memang sering melihatnya saja hadir saat Misa.
Dari obrolan itu saya tahu, bahwa ia sedang menunggui anaknya pembekalan komuni pertama. Lanjut mengobrol lagi, ia curhat pada saya. Menurutnya, saat ini kondisi hubungannya dengan sang istri sedang kurang baik. Pasalnya, sudah 4 bulan ini ia resign dari sebuah bank pemerintah setelah hampir 20 tahun bekerja, dan hingga saat ini ia belum mendapat pekerjaan lagi.
Istrinya tiap hari uring-uringan. Membuatnya seakan makin tergencet, merasa tidak berdaya, dan merasa kurang berguna. Keinginannya untuk berwiraswasta kurang mendapat dukungan dari istrinya. Alasannya, takut rugi dan uang mereka akan habis tanpa hasil. Ia jadi merasa lebih stress.
Saya hanya sekedar mendengarkan curhatnya. Jadi tidak menanyakan lebih lanjut alasannya resign, dan juga apakah dia sedang berusaha untuk mencari pekerjaan lagi. Saya rasa itu bukan urusan saya dan saya tak mau terlalu jauh masuk ke dalam masalah pribadinya.
Kisah bapak itu memaksa saya untuk bercermin. Saya pernah mengalami hal yang sama. Menjadi kepala keluarga yang berstatus jobless. Bukan hanya 4 bulan seperti bapak itu, tapi 2 kali lipatnya, yaitu 8 bulan. Hanya saja, yang saya alami jauh bertolak belakang dengan bapak itu.
Istri saya tak pernah berubah. Tetap mendukung apapun yang saya lakukan. Mau wiraswasta ayo, mau cari kerja lagi monggo. Dan saya pun melakukan dua-duanya. Sambil klak-klik tiap lowongan pekerjaan yang masuk ke email saya, usaha kecil-kecilan pun saya lakukan. Hasilnya tidak menjanjikan. Hanya lebih sebagai supaya saya tidak kelihatan jobless amat.
Istri saya mengeluh? Sama sekali tidak. Kehidupan kami tetap seperti biasa. Tabungan menipis jumlahnya? Jelas! Selama 8 bulan itu kami memang sepenuhnya hidup dari uang tabungan. Sempat terpikir untuk menjual salah satu motor, tapi batal karena masih sayang. Yang dilego duluan malah rumah (kosong). Itu juga karena ada teman yang ngotot menawar. Itu pun hasilnya belum sempat tersentuh.
Satu pendapat istri saya yang bisa saya pegang teguh, bahwa Yang Di Atas akan mencukupkan sepanjang kita berani mengatakan cukup dan mau bersyukur. Dan penantian itu pada akhirnya mencapai titik akhir ketika saya mendapatkan lagi pekerjaan. Usaha yang sudah berjalan tetap dipegang istri saya.
Pelajaran apa yang saya dapat dari peristiwa ini? Banyak sekali. Yang paling bisa saya hayati adalah betapa teguh istri saya memegang janji pernikahan kami, tentang ‘mencintai dan menghormati dalam sedih dan senang, dalam untung dan malang’.
Sebenarnya hanya itu yang saya butuhkan. Seseorang yang bisa memberi kekuatan lebih ketika berada dalam kondisi tidak beruntung. Ketika saya berterima kasih padanya, ia hanya menjawab santai : ‘lha, aku kuat karena kamu kuat kok!’
Saya tidak tahu apakah ini ujian ataukah bukan. Yang jelas kami bisa melaluinya dengan baik. Semoga selalu seperti itu. Semoga kami selalu ingat bahwa ada janji pernikahan yang harus selalu dipenuhi. Dalam susah dan senang, dalam untung dan malang.
Salam Kompasiana,
Ben S.
* * *
Catatan Lis S.
Sebetulnya nggak ada yang terlalu berat untuk dihadapi kalau saja kita selalu ingat untuk bersyukur. Dalam kondisi yang kami alami, saya merasa nggak terlalu berat karena kami masih punya cukup tabungan. Kalau simpanan kami dari awalnya sudah ‘tipis’, entah apakah saya masih bisa bersikap santai ataukah tidak. Tapi dari pengalaman si bapak yang curhat pada suami saya, saya kira kehidupan keluarga si bapak itu juga nggak susah-susah banget.
Tapi ada satu hal yang saya tahu dari suami saya, bahwa dia adalah pejuang tangguh. Suatu sikap yang nggak pernah berubah dalam kondisi apapun. Dalam susah dan senang, dalam untung dan malang, dia tetap bisa berdiri tegak.
Faktor ekonomi adalah hal yang cukup utama dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Matre atau enggak, duit tetaplah penting. Oleh karena itu, untuk semua personal keluarga muda yang kebetulan membaca artikel ini, saya hanya ingin berpesan 3 hal, yaitu :
- menabunglah sebanyak-banyaknya (semampu-mampunya) selagi bisa
- tetaplah bergandengan tangan dengan pasangan saat badai datang menerpa dan saat mencari solusi untuk keluar dari badai itu
- selalu bersyukurlah atas segala yang sudah kita terima (bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti nggak bisa).
Untuk kondisi yang kami alami, saya hanya berusaha berpegang pada janji pernikahan yang sudah saya ucapkan sendiri dengan kesadaran penuh untuk tetap setia, mencintai, menghargai, dan menghormati suami pilihan saya sendiri dalam sedih dan senang, dalam untung dan malang. Selebihnya, biarkan Yang Di Atas mengulurkan tangan untuk membantu.
Salam,
Lis S.
berawan com aku tidak pedulu atas keadaan susah senangku karena aku tak tahu manakah diantarnya keduanya itu yang lebih baik bagiku umar ibn khattab
0 komentar:
Post a Comment