Susahnya Mencari Remaja Putri yang Masih Perawan
Oleh: Leila Ch Budiman
Kasus:
"Saya seorang pemuda (31) dari keluarga sederhana, yang tidak pernah kekurangan. Dan kecil saya lebih dini ditanamkan budi pekerti dan agama. Selama kuliah saya menyambi jadi guru privat dan aktivis kampus. Sekarang sudah jadi sarjana teknik universitas unggul dan bekerja dengan posisi cukup baik.
Dari kecil sampai sekarang, saya tidak pernah menjumpai masalah serius dalam keluarga maupun masyarakat. Namun, masalah baru muncul ketika mencari teman hidup. Tuhan YME juga sangat baik kepada saya, selain anugerah di atas, saya pun dianugerahi banyak teman cewek. Yang pernah mengatakan suka kepada saya, mungkin tidak cukup bila dihitung dengan jari tangan dan jari kaki. Saya tidak tahu mengapa, tetapi ada beberapa yang bilang saya baik hati.
Dari sekian banyak teman gadis, saya mendekati beberapa yang mampu membuat saya "serr", yaitu mereka yang cerdas, energik, wawasan luas, modern dan menarik. Soal baik hati, saya pikir semua orang pada awalnya akan menunjukkan sikap semanis mungkin. Setidaknya saya pernah mendekati empat orang dengan kriteria di atas. Tetapi sayang, keempatnya punya persamaan: tidak perawan. Saya tidak pernah tanya soal itu, tapi mereka sendiri yang jujur dengan saya karena saya menunjukkan keseriusan untuk melamar mereka.
Sebut saja si A. Sewaktu mereka bekerja di luar Jawa, sudah begituan dengan pacarnya. Kedua si B, adik kelas ketika di SMA dulu. Secara kebetulan kami bertemu lagi di Jakarta. Dia berterus terang, sudah menyerahkan kehormatannya kepada pacar sekaligus teman kuliahnya dulu. Ketiga si C, wanita eksekutif di perusahaan besar, juga kondisinya sama. Yang terakhir, yang mendorong saya menulis surat ini, adalah si D, ia masih muda (23) sudah lulus S1, juga sudah "gituan" dengan "calon suaminya", yang ternyata hanya janji gombal. Saya sebetulnya kasihan kepada mereka sekaligus benci kepada kaumku, yang tidak lebih dan seekor kucing. Saya sampai bingung, sudah begitu parahkah generasi muda kita? Atau saya yang ketinggalan zaman?
Sayakah yang kuno, konservatif, atau goblok tidak bisa memanfaatkan kesempatan?
Bu Leila, yang saya persoalkan bukanlah soal selaput tipis itu, tapi soal moral dan akhlak di balik itu. Sekaligus ketenangan hidup, jika saya harus meninggalkan dia selama berminggu-minggu untuk dinas luar. Insya Allah saya akan menyayanginya sampai akhir hayat. Apakah harapan saya berlebihan? Seandainya sampai usia lanjut saya tidak temukan harapan saya, bagaimana caranya agar saya bisa tabah, besar hati menerima kenyataan dan dapat tenang menjalani kehidupan rumah tangga?
Ketika masih kuliah dulu, saya pernah pacaran dengan seorang kutu buku. Sebenarnya kesempatan ada untuk ke sana (dia sudah begitu pasrah), tapi itu tidak saya lakukan. Saya kasihan dia. Lagi pula saya punya adik dan kakak perempuan. Takut hukum karma. Jadi, saat kami bubaran, saya jamin dia masih perawan 100 persen dan saya masih perjaka. Meski uang cukup, saya tidak pernah "jajan" sebab jijik.
dicomot dari blog sebelah dianya yang ambil kompas dot com
0 komentar:
Post a Comment