Unik dan Nikmatnya Buka Puasa Bersama di Jepang
Tokyo - Hidup sebagai kelompok minoritas di Jepang memang selalu penuh tantangan hampir dalam segala hal. Salah satunya adalah saat menjalani ibadah puasa Ramadan.
Itulah yang dialami oleh Joko Pramono, seorang software engineer di perusahaan swasta Tokyo, Jepang.
Apalagi Ramadan di Jepang tahun ini, bertepatan dengan musim panas, dimana sinar matahari begitu teriknya.
Bisa dibayangkan betapa beratnya ujian yang harus dilewati selama menjalankan ibadah puasa lantaran harus menahan rasa haus dan lapar.
“Suhu Tokyo saat ini sekitar 35º C. Selepas hujan kelembapan udara mencapai 98 persen. Kombinasi ini mengakibatkan panas ibu kota Jakarta jadi tak ada apa-apanya. Baru berjalan di luar lima menit saja, baju sudah basah keringat bukan main,” ceritanya melalui surat elektronik yang diterima redaksi
Tak hanya itu, lanjut Joko, akibat cuaca yang begitu panas menyengat membuat tenggorokannya terasa cepat kering, sementara ia tak bisa langsung minum lantaran sedang puasa.
Kondisi inilah yang membuat atasannya di kantor, kata Joko, sangat khawatir. “Takut saya pingsan karena tidak air minum di tengah teriknya matahari musim panas. Saya pun tak dibolehkan keluar gedung kantor selama berpuasa. Sebagai agen muslim saya tunjukkan saja kalau malah lebih kuat saat berpuasa,” imbuhnya,
Godaan lain yang juga dirasakan dan sulit untuk ditahan, kata dia, adalah melirik para gadis Jepang yang berparas cantik dan berkulit putih mulus. “Bisa dibayangkan sendiri kan? Pakaian mereka seperti apa di musim panas begini? Baru membuka pintu apartemen di pagi hari saja, sudah ada satu dan lebih yang lewat pakai sepeda,” ungkapnya.
Meski demikian, Joko berusaha untuk melawan semua godaan tersebut agar ibadah puasa yang tengah dijalaninya dapat dilalui dengan baik.
Suka Duka Ramadan di Jepang
Selama Ramadan, ia terbiasa bangun pagi untuk sahur pukul 2.30. Di Jepang, kata Joko, waktu subuh pukul 3.00 pagi, sementara Matahari mulai menampakkan sinarnya pada pukul 4.30.
“Saya selalu berusaha bangun sahur walau hanya untuk seteguk air putih. Karena ada berkah di setiap sahur, sesuai hadis Rasulullah SAW. Terkadang saya masukkan telur ke dalam oven sampai matang sambil terkantuk-kantuk untuk dimakan dengan nasi,” ceritanya.
Berbicara soal bahan makan halal, Joko mengaku, di Jepang memang tak mudah untuk mendapatkan bahan makanan halal. Apalagi daging halal yang proses penyembelihan dan sesudahnya sesuai syariah. Ini dikarenakan di Jepang, kata dia, tak banyak penduduk yang beragama Islam.
Meski demikian Joko cukup senang, karena kini mulai banyak toko yang menjual daging berlabel halal. Bahkan supermarket biasa dekat apartemennya pun menjual daging berlabel halal yang berasal dari Brasil dan Chili.
Untuk suasana Ramadannya sendiri, lanjut Joko, tentu saja jauh berbeda dengan Indonesia.
“Di sini (Jepang) saya tak bisa menikmati ta'jilnya seperti kolak dan makanan khas Ramadan lainnya. Tak ada adzan magrib di televisi, tak ada dagelan menemani waktu sahur. Tak ada sinetron religi Deddy Mizwar. Pokoknya suasana puasa di sini seperti hari-hari biasa,” bebernya panjang lebar.
Kendati demikian, Joko mengaku, masih bisa merasakan nikmatnya buka puasa bersama (bukber) di Jepang. Bahkan, kata dia, ada pula yang menggelar acara buka sahur bersama alias Bu Sabar.
Momen membahagiakan itu biasanya digelar oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) Tokyo, dan berbagai perkumpulan orang Indonesia di Jepang seperti KMII (Keluarga Masyarakat Islam Indonesia), PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Fuchu-Koganei, dan perkumpulan TKI Jepang.
“Semua perkumpulan yang ada orang Indonesia-nya berlomba-lomba mengadakan acara buka bersama setiap minggu. Saya sampai bingung harus ikut yang mana. Semarak sekali,” jelasnya bersemangat.
Tak hanya perkumpulan orang Indonesia, masjid-masjid di Tokyo pun, cerita Joko, setiap hari mengadakan acara buka bersama. Menurut dia, buka puasa bersama di masjid-masjid Tokyo sangat terasa persaudaraan muslimnya.
Semua umat muslim dari berbagai etnis, warna kulit, dan negara berkumpul dan berbaur, termasuk orang-orang muslim asal Jepang. “Kami bercengkerama sambil buka puasa bersama. Sungguh sangat indah ukhuwah islamiyah ini. Keberagaman dalam persaudaraan universal,” imbuhnya.
Pengalaman Penuh Kesan
Komunitas muslim di Jepang, terutama di Tokyo, kata Joko, ada banyak. Khusus komunitas Indonesia, lanjut dia, biasanya memanggil ustad-ustad dari Indonesia untuk mengisi kajian ilmu menjelang buka puasa bersama. “An-Nur, komunitas muslim yang saya ikuti mengundang Ustad Fadlan Garamatan selama seminggu,” jelasnya.
Sementara untuk Salat Tarawih berjamaah, Joko mengaku, mempunyai masjid favorit yaitu, Masjid Otsuka. Ia sangat senang Salat Tarawih di masjid tersebut, karena suara imam yang berasal dari Pakistan tersebut begitu merdu hingga menggetarkan hatinya. “Belum lagi doa qunut yang mampu membuat saya menangis. Satu juz dalam 23 rakaat tiap harinya jadi tak terasa. Begitu indah,” sanjungnya.
Pengalaman religius lain yang tak kalah berkesannya adalah, ketika Joko bertemu dengan seorang syaikh dari Turki yang berusia lebih dari 110 tahun. “Ada pula seorang mualaf mantan Yakuza Jepang yang memiliki begitu banyak tato di sekujur tubuhnya, bocah-bocah blasteran Jepang yang hampir hafal Quran di usia muda belia,” ceritanya merinci.
Lain lagi pengalaman Joko ketika mengunjungi Masjid Jami Turki. Ia mengaku, masjid tersebut merupakan tempat biasanya ia menyendiri.
Di masjid itulah Joko selalu terharu melihat wanita-wanita Jepang yang bersyahadat, tanda mereka mulai masuk Islam. “Tak seperti kebanyakan gadis Jepang yang menggoda iman, mereka yang masuk Islam memilih untuk memakai jilbab,” tambahnya.
Uniknya lagi, acara buka puasa bersama yang digelar Masjid Jami Turki, dihadiri pula oleh orang-orang Jepang non-muslim, tapi mereka menjalankan puasa.
“Masjid ini memang sangat unik dan menarik. Tambah lagi melihat makanan prasmanan Turki yang lezat sebagai hidangan berbuka, siapa yang tak tergoda untuk buka puasa di sini?” ujar Joko berpromosi.
Begitu pula bagi Risnawati tahun ini.
Berkumpul bersama dengan Muslim lainnya dari berbagai negara di Masjid Fukouka, Jepang, menjadi hal yang dirindukan Risahmawati. Perempuan yang pernah berdiam di Jepang selama empat tahun ini pernah merasakan nikmatnya Ramadhan di Negeri Matahari Terbit itu.
Persiapan menyambut Ramadhan ternyata tak hanya dilakukan di Indonesia. Umat Muslim yang berada jauh dari negara asalnya pun menyambut Ramadhan dengan gembira. Risahmawati mengatakan, beberapa agenda berbuka puasa bersama, iktikaf, hingga pelaksanaan perayaan hari besar umat Islam sudah jauh-jauh hari dipersiapkan.
Risahmawati datang ke Jepang pada Februari 2008 hingga Maret 2012. Dia berdiam di kota kecil Saga, wilayah Jepang bagian selatan. Ia mengenyam pendidikan S-3 di Universitas SAGA dengan mengambil program Komunitas Kedokteran. ''Biasanya, untuk menyambut Ramadhan, komunitas Muslim Indonesia merencakan beberapa agenda yang akan dilaksanakan saat Ramadhan, seperti pengajian rutin dan buka puasa bersama,'' ujarnya, Senin (23/6).
Beberapa mahasiswi Muslim Indonesia, menurutnya, rutin memprogramkan hatam Alquran setiap Ramadhan. Uniknya, program hatam tersebut tidak dilakukan secara bertatap langsung, tapi memanfaatkan saluran komunikasi Skype.
Risah mengatakan, setiap setengah jam sebelum azan Shubuh, dia dan Muslimah lainnya sudah online dan secara bergantian mengaji satu juz. Kegiatan tersebut rutin dilakukan setiap hari. Sehingga, selama 30 hari berpuasa mereka bisa menghatamkan Alquran bersama-sama.
Suasana iktikaf di Fukuoka pun dirasakannya berbeda dengan di Indonesia. Di sana, Rihsa mengatakan, umat Muslim dari berbagai bangsa dan negara berkumpul menjadi satu di rumah Allah. Kegiatan iktikaf setiap minggunya selalu dipenuhi saudara Muslim lainnya.
Tak hanya itu, makanan yang dihidangkan untuk berbuka dan sahur pun bervariasi. Setiap pekan, Rihsa mengatakan, ada giliran masing-masing negara yang bertugas menghidangkan makanan. ''Giliran tim Indonesia biasanya pada hari-hari pekan pertama,'' ujar perempuan yang kini tinggal di Cibubur, Bekasi.
Menu berbuka maupun sahur yang sering dihidangkan tim Indonesia tak jarang mendapat pujian dari Muslim asal negara lain. Menu yang dihidangkan seperti kolak, satai, hingga makanan khas Indonesia, yaitu tempe.
Menurutnya, banyak warga Jepang yang suka pada tempe. Bahkan, ada warga asli Indonesia yang membuka toko tempe di Jepang dan tak sedikit peminatnya. Makanan halal juga mudah ditemui. Muslim Indonesia pun dapat memesannya dan langsung dikirimkan ke depan pintu apartemen. Sementara, untuk daging, dia mengatakan, ada beberapa toko di Jepang yang telah menyediakan daging dan bahan-bahan halal lainnya.
Makanan yang dirindukan dari Indonesia terutama adalah makanan khas pembuka puasa. Misalnya, kolak kacang hijau dan makanan manis lainnya. ''Jenis-jenis makanan tersebut sulit ditemui di Jepang, khususnya di Saga,'' katanya.
Ketika Rihsa menjalani Ramadhan di sana, Jepang sedang musim panas. Periode puasa pun menjadi lebih lama dibandingkan di Indonesia. Sekitar 03.00 waktu setempat adalah waktu Subuh. Kemudian, waktu Maghrib pada pukul 20.00 waktu setempat.
Komunitas Muslim di Jepang juga memiliki program safari ustaz Indonesia. Dalam program ini, komunitas Muslim Indonesia mengundang ustaz dari Indonesia untuk mengisi ceramah selama Ramadhan secara bergantian dan berkeling dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Jepang. Sering kali, ustaz dari Indonesia hadir di Saga pada pekan terakhir Ramadhan.
Sayangnya, Rihsa mengatakan, di daerah Saga belum ada masjid maupun mushala. Masjid dan mushala hanya terdapat di kota sebelahnya, yaitu Fukuoka. Risah pun mengandalkan reminder shalat yang diinstal di komputer.
Menjelang Ibadah shalat Id, komunitas Muslim meminta izin untuk menggunakan gedung serbaguna milik pemerintah daerah yang disebut dengan Kouminkang. Gedung tersebut digratiskan untuk ibadah shalat Id. "Kecuali, jika kami ingin menggunakan AC, maka harus memasukkan koin ke dalam lubang koin di AC tersebut," ujarnya. N c64 ed: andi nur aminah
0 komentar:
Post a Comment