Keutamaan Orang Yang Sabar
Orang yang tidak merugi adalah orang yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat kebenaran, dan saling berwasiat kesabaran. (QS al-Ashr [103]: 1-3). Sabar merupakan akhlak terpuji yang harus dimiliki setiap Muslim.
Pepatah Arab menyatakan, “Orang yang bersabar akan memperoleh kemenangan.” Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, (karena) Allah itu senantiasa bersama orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 158).
Dari segi bahasa, shabr artinya menahan dan mengendalikan diri agar tidak “dijajah” hawa nafsu dan emosi. Dalam kitab Tahdzib Madarik al-Salikan, Ibnu al-Qayyim mendefinisikan sabar sebagai menahan diri untuk tidak melampiaskan nafsu angkara murka, mengendalikan lidah untuk tidak berkeluh kesah, dan mengontrol anggota tubuh untuk tidak bertindak anarki.
Orang yang sabar tidak hanya bersikap lapang dada saat menghadapi kesulitan dan musibah, tetapi juga teguh pendirian (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran, dan selalu dinamis dan optimistis dalam meraih masa depan yang lebih baik dan bermakna.
Sabar bisa diklasifikasikan menjadi lima, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, sabar dalam menerima dan menghadapi musibah, sabar dalam menuntut dan mengem bangkan ilmu, serta sabar dalam bekerja dan berkarya.
Pepatah Arab menyatakan, “Orang yang bersabar akan memperoleh kemenangan.” Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, (karena) Allah itu senantiasa bersama orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 158).
Dari segi bahasa, shabr artinya menahan dan mengendalikan diri agar tidak “dijajah” hawa nafsu dan emosi. Dalam kitab Tahdzib Madarik al-Salikan, Ibnu al-Qayyim mendefinisikan sabar sebagai menahan diri untuk tidak melampiaskan nafsu angkara murka, mengendalikan lidah untuk tidak berkeluh kesah, dan mengontrol anggota tubuh untuk tidak bertindak anarki.
Orang yang sabar tidak hanya bersikap lapang dada saat menghadapi kesulitan dan musibah, tetapi juga teguh pendirian (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran, dan selalu dinamis dan optimistis dalam meraih masa depan yang lebih baik dan bermakna.
Sabar bisa diklasifikasikan menjadi lima, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, sabar dalam menerima dan menghadapi musibah, sabar dalam menuntut dan mengem bangkan ilmu, serta sabar dalam bekerja dan berkarya.
Kelima bentuk kesabaran ini berkaitan erat dengan ketahanan mental spiritual, sehingga kesabaran itu selalu menuntut ketahanan jiwa dan kekayaan mental spiritual yang tangguh.
Dalam menuntut ilmu dan berkarya, misalnya, kesabaran sangat diperlukan karena kehidupan ini selalu berproses, memerlukan waktu, dan tidak instan. Ketika “melamar” menjadi murid Khidir, Nabi Musa AS diminta memenuhi satu syarat saja, yaitu sabar.
Dalam banyak hal, ketidaksabaran merupakan awal dari penyimpangan dan kemerosotan moral. Korupsi, misalnya, merupakan wujud dari ketidaksabaran seseorang dalam meraih kekayaan secara halal dan legal. Kemacetan jalan raya sering kali disebabkan oleh ketidaksabaran pengguna jalan untuk disiplin dan antre.
Menurut Ali bin Abi Thalib, sabar itu sebagian dari iman. Nilai sabar itu identik kepala pada tubuh manusia. Jika kesabaran telah tiada, berarti iman dalam diri manusia itu telah sirna.
Sejarah menunjukkan bahwa kemenangan dakwah Islam, antara lain, terwujud karena kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian, musibah, dan permusuhan. Tentara Muslim dalam perang Badar yang hanya berjumlah 313 orang berhasil menga lahkan tentara kafir Quraisy yang berjumlah 1.000 orang karena kuatnya kesabaran mereka. (QS al-Baqarah [2]: 249).
Pendidikan kesabaran juga merupakan salah satu cara untuk memperoleh petunjuk Allah SWT, karena orang yang sabar hanya mau mendengar suara hati nurani, bukan mengikuti hawa nafsu dan emosi. (QS as-Sajdah [32]: 24). Sabar berarti kita harus ikhlas, menerima dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Dalam menuntut ilmu dan berkarya, misalnya, kesabaran sangat diperlukan karena kehidupan ini selalu berproses, memerlukan waktu, dan tidak instan. Ketika “melamar” menjadi murid Khidir, Nabi Musa AS diminta memenuhi satu syarat saja, yaitu sabar.
Dalam banyak hal, ketidaksabaran merupakan awal dari penyimpangan dan kemerosotan moral. Korupsi, misalnya, merupakan wujud dari ketidaksabaran seseorang dalam meraih kekayaan secara halal dan legal. Kemacetan jalan raya sering kali disebabkan oleh ketidaksabaran pengguna jalan untuk disiplin dan antre.
Menurut Ali bin Abi Thalib, sabar itu sebagian dari iman. Nilai sabar itu identik kepala pada tubuh manusia. Jika kesabaran telah tiada, berarti iman dalam diri manusia itu telah sirna.
Sejarah menunjukkan bahwa kemenangan dakwah Islam, antara lain, terwujud karena kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian, musibah, dan permusuhan. Tentara Muslim dalam perang Badar yang hanya berjumlah 313 orang berhasil menga lahkan tentara kafir Quraisy yang berjumlah 1.000 orang karena kuatnya kesabaran mereka. (QS al-Baqarah [2]: 249).
Pendidikan kesabaran juga merupakan salah satu cara untuk memperoleh petunjuk Allah SWT, karena orang yang sabar hanya mau mendengar suara hati nurani, bukan mengikuti hawa nafsu dan emosi. (QS as-Sajdah [32]: 24). Sabar berarti kita harus ikhlas, menerima dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Berkata Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu: “Kami mendapati keutamaan hidup dengan bersabar, kalau sabar itu adalah seorang laki-laki maka tentulah ia sangat mulia.”
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah menuturkan: “Ketahuilah, bahwasanya (perumpamaan) sabar dengan iman seperti kepala dengan badan. Jika kepalanya terpotong maka binasalah badannya.”
Berkata al-Hasan: “Sabar adalah perbendaharaan surga yang tidak diberikan Allah kecuali bagi hamba yang mulia di sisi-Nya.”
Sulaiman bin al-Qosim berkomentar: “Semua amalan diketahui pahalanya kecuali sabar. Allah berfirman (yang artinya): “… Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. As-Zumar: 10).
Lanjut beliau: “Bagaikan air yang tercurah.” (Secara lengkap lihat Uddatush Shabirin oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, hal. 95).
Sumber: Majalah al-Mawaddah, Edisi 7 Tahun I ,Shafar 1429 H – Februari 2008 / republika co id
0 komentar:
Post a Comment