banyak pilihan dalam hidup ini tapi aku pilih tidur
Sebenarnya pernyataan bahwa masa penantian ini kuhabiskan dengan nyampah adalah bohong! Walaupun bau badan ku kayak sampah tidak sepenuhnya salah. Setidaknya tidak bau layon lagi. Walaupun penampilan ku kayak tukang sampah itu juga ada benarnya tapi setidaknya bukan mirip sampahnya. Meskipun sampah itu kotor tetapi dia memiliki kelembutan dan kehangatannya sendiri. Kalau tidak percaya coba aja masukkan tangan kalian ke tempat sampah yang udah penuh. Lebih bagus lagi kalau itu sampah organik, hangat dan lembut.
Yak! Kurasa sudah cukup memuaskan hasrat kalian. Kita kembali ke benang merah bahwa aku ingin memperbaiki nama baik ku—padahal aku sndiri yang menjelek-jelekkannya. Aku bukan lah sampah. Hanya laki-laki yang bau sampah.
Kata siapa masa penantian ini aku cuma jadi pengangguran? Waktu luang ini ku isi dengan kegiatan yang sangat padat. Terutama tidur, sampai aku kesulitan mengatur waktu, hufh. Hei hei, tapi jangan kalian kira aku pemalas karena susah sekali untuk tidur ketika dalam keadaaan tidak mengantuk. I did it! Skill tidur siang ku sudah menyaingi nobita yang dilempar bantal.
Haduh, susah sekali untuk tidak merendahkan diri sendiri di sini. Takutnya image ku bertambah jelek di depan orang-orang yang membaca padahal sebenarnya aku sudah jelek. Zzzzz…Ga perlu di perparah woi!
(tarik nafas)
Banyak banget hikmah yang aku dapatkan di pertapaan ku. Yang menguatkan bahwa keputusan untuk tinggal di rumah adalah sangat tepat. Dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Tentu saja semuanya nanti akan kembali ke masalah sudut pandang, idealisme, dan dimensi keadaan yang kita alami. Entah pembelaan diri atau sebenar-benarnya hikmah. Pilihan kita tidak pernah salah, bergantung dari bagaimana kita menyikapi pilihan kita tersebut. Pilihan yang telah kita buat adalah masa lalu, sikap dan aksi adalah kini, sisanya adalah hak Tuhan.
Kenapa aku tak menyesalinya?
Banyak yang sedang memperjuangkan idealisme mereka sekaligus mencicil potongan cita-cita yang mereka dambakan. Demi kebahagiaan yang pas dengan ruang hati mereka. Aku di sini berharap yang terbaik bagi mereka dan bagi ku sendiri yang lebih memilih untuk menanti dalam diam. Tidak sepenuhnya diam sebetulnya. Yang harus ku lakukan memang harus di lakukan di sini, di rumah sendiri, bukan yang lain. Secara teknis aku tidak selalu melakukan hal yang bermanfaat. Tapi senyum dan uneg-uneg nya membuatku merasa bermanfaat.
Betapa dia hanya memerlukan kehadiran ku tanpa aku harus melakukan apapun—meskipun tentu aku masih tau diri. Betapa dia hanya perlu berbicara kepadaku tanpa aku harus mendengarkan. Betapa dia hanya butuh sepasang tangan ku yang menekan kakinya dengan lembut tiap malam. Betapa dia hanya ingin nasi dan lauk yang dia masak selalu habis sehingga tidak perlu membuang sisanya. Selalu seperti itu. Apa yang dia harapkan selalu lebih sederhana dari apa yang aku cita-citakan. Tidak jarang membuatku salah tingkah saat ku ungkapkan pengharapan masa depan ku padanya.
Dekat dengan mereka.
Malam adalah waktu berduaan kami. Keluhan dan ceritanya nya adalah candle-light dinner kami. Sambil memijit perlahan telapak kakinya yang sering merasa nyeri karena asam urat yang belakangan ini mulai mencubit kecil syarafnya. Saat dia ungkapkan sekilas keinginan masa tuanya tekanan tangan ku pada kakinya tanpa terasa melemah. Aku melai merasa khawatir jikalau aku tidak bisa mengabulkannya kelak. Saat benak khawatir, lagi-lagi ucapannya membuat ku saat ini mengerti—karena pada saat itu setengah hati ku tertutup kantuk. Ingin melihat semua anaknya hidup berdampingan dan selalu dalam jangkauan gelombang suara yang semakin tersumbat oleh bertambah usianya kelak.
Tidak dipungkiri uang memang akan sangat membantu.
"Pas kamu masih kuliah usaha ibu lumayan lancar tapi saat kamu nganggur kayak gini rejeki kita sedang dicukupkan.", keluhnya dalam senyum. Entah harus menyimpulkan aku adalah anak pembawa sial atau apa. Memecut ide untuk segera magang mencari uang. Sekedar ingin menjadi pria peka yang mengerti kode dari seorang wanita. Cobaan finansial yang kami alami bukan aku tidak mengerti letak penyebabnya, hanya saja sedang tidak bisa tertolong saat ini. Saat beberapa informasi dan rekomendasi sudah ada di tangan tiba-tiba situasi di sini menggenggam tanganku erat. Seakan tidak diperkenankan atau tekad ku yang kurang bulat? Ragu ku berhenti semenjak banyak ucapan terima kasih yang disampaikannya. Banyak ekspresi lega yang ditunjukkannya. Ini semua bukan soal uang—walaupun keluhannya bukan bohong. Uang memang sangat membantu tapi tidak selalu membawa ketenangan layaknya keluarga.
Membantu dengan cara lain.
Rutinitas ku tidak sering keluar rumah. Lebih sering di rumah. Yang memaksa ku keluar rumah adalah mengantar ibu berbelanja di pasar, bisnis, dan nonton bareng AC Milan. Selain itu jika tidak ada event khusus, aku sangat jarang meninggalkan rumah—yang patut disyukuri karena tidak memiliki banyak teman yang masih di wilayah dalam kota. Bukannya apa-apa. Setengah mencuri ilmu dari beliau dalam menjalankan usaha dagangnya yang bisa berlangsung dengan bersahaja sampai sekarang. Tanpa satupun ilmu yang aku pelajari selama 3 tahun belakangan ini, bahkan hanya butuh ilmu setingkat anak SD. Harap-harap cemas di saat hari sabtu menjelang namun penjualan belum menutupi beban upah per minggu untuk 3 orang pekerja yang sangat berjasa untuk memperpanjang usiaku sampai sekarang. Orang-orang yang sangat aku hargai terlepas dari gaji mereka yang jika aku hitung-hitung dengan kebutuhan keluarga yang kami keluarkan tiap hari tidak akan mampu mencukupi. Namun mereka mampu hidup dan cukup bersyukur bisa bekerja di tempat kami. Para pejuang keluarga yang patut diapresiasi. Yang selalu mengingatkan kami untuk selalu bersyukur di saat-saat seperti ini.
Suatu saat aku pernah mengatakan kepada seseorang, “Kodrat laki-laki adalah menjadi pemimpin dan pemimpin yang baik sangat senang merasa dibutuhkan.”. Atau cuma aku? Terlalu lama di rumah membuat ku merasa useless. Jadi aku tidur saja biar sangat dibutuhkan orang-orang di dalam mimpiku sendiri. Bukan. Aku mencari kesibukan dengan sembunyi-sembunyi, di kamar tidur dan kamar mandi. IYKWIM. Ahaha… Setidaknya aku sudah mempunyai keahlian tambahan yang sepele tapi manfaatnya terbilang besar. Nyupir. Dan keahlian nyopir mobil diturunkan Tuhan tepat ketika tenaga sopir sangat susah dicari dan saat peredaran usaha tidak begitu lancar. Aku senang bisa membantu beliau mencari nafkah. Di rumah aku menjadi sopir pribadi. Pekerjaan yang sering direndahkan orang tentunya. Tapi aku merasa senang dengan pilihan ku daripada aku harus magang jauh-jauh. Aku lebih memilih mengantarkan ibu berbelanja ke pasar sambil menghafal harga sayur dan bumbunya daripada berdesak-desakan di angkutan umum setiap pagi. Setidaknya aku sudah bisa melakukan sesuatu untuk keluarga ku. Aku senang aku menjadi satu-satunya lelaki yang bisa diandalkan di rumah. Tidak usah pertanyakan laki-laki lain yang pasti muncul di pikiran kalian.
Masa penantian ini memberi ku ilham untuk menambahkan klausul doa yang aku panjatkan. Aku ingin menjadi kepala keluarga yang bisa diandalkan, terutama untuk keluarga ku sendiri. Keluarga adalah urutan pertama yang tidak mau aku kecewakan. Mungkin ada pilihan “diandalkan atasan dan teman kerja”, itu juga sangat penting namun tidak akan menjadi prioritas utama ku saat dihadapkan pada pilihan siapa yang harus aku kecewakan, keluarga atau profesionalitas.
Waktu luang ini adalah masa pencarian ku tentang arti sebuah kebersamaan. Meredamkan sejenak ambisi dan idealisme. Melihat “hal terbaik” dari mata yang lain. Mencoba memahami begitu kebahagiaan sudah ada sekarang tanpa mengabaikan kebahagiaan yang lain di masa yang akan datang. Karena kebahagiaan ku adalah kebahagiaannya, maka aku akan membuat diri ku bahagia selama mungkin agar mereka bahagia. Mengorbankan diri ku untuk kebahagiaan yang pantas.
Dan setelah semua cerita karangan yang panjang ini, aku memberitahu kalian bahwa cerita dia atas hanyalah fiksi semata. Kata ganti orang pertama dan kedua bukan berarti adalah kisah ku karena aku lebih nyaman menulis dengan gaya seperti ini. Kemiripan latar, nama, situasi dan kondisi hanya kebetulan. Kebetulan benar-benar terjadi, wkwkwk..
Maaf membuat kalian bingung manakah cerita bohong dan bukan. Betapa kebohongan bisa mengacaukan pikiran kita.
Oleh karena itu agar kalian tidak terlalu repot. Kembali ke anggapan awal kalian kalau aku sedang nyampah di sini. Karena aku tidak akan sampai menulis sebanyak ini kalau tidak sedang lebih rendah dan lebih bau dari sampah.
Dalam hitungan satu dua tiga kalian akan mematikan laptop kalian dan tidur dengan nyenyak dan akan terbangun lagi di sepertiga malam terakhir.
Satu
Dua
Tiga..!
berawan com banyak pilihan dalam hidup ini tapi aku pilih tidur
Yak! Kurasa sudah cukup memuaskan hasrat kalian. Kita kembali ke benang merah bahwa aku ingin memperbaiki nama baik ku—padahal aku sndiri yang menjelek-jelekkannya. Aku bukan lah sampah. Hanya laki-laki yang bau sampah.
Kata siapa masa penantian ini aku cuma jadi pengangguran? Waktu luang ini ku isi dengan kegiatan yang sangat padat. Terutama tidur, sampai aku kesulitan mengatur waktu, hufh. Hei hei, tapi jangan kalian kira aku pemalas karena susah sekali untuk tidur ketika dalam keadaaan tidak mengantuk. I did it! Skill tidur siang ku sudah menyaingi nobita yang dilempar bantal.
Haduh, susah sekali untuk tidak merendahkan diri sendiri di sini. Takutnya image ku bertambah jelek di depan orang-orang yang membaca padahal sebenarnya aku sudah jelek. Zzzzz…Ga perlu di perparah woi!
(tarik nafas)
Banyak banget hikmah yang aku dapatkan di pertapaan ku. Yang menguatkan bahwa keputusan untuk tinggal di rumah adalah sangat tepat. Dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Tentu saja semuanya nanti akan kembali ke masalah sudut pandang, idealisme, dan dimensi keadaan yang kita alami. Entah pembelaan diri atau sebenar-benarnya hikmah. Pilihan kita tidak pernah salah, bergantung dari bagaimana kita menyikapi pilihan kita tersebut. Pilihan yang telah kita buat adalah masa lalu, sikap dan aksi adalah kini, sisanya adalah hak Tuhan.
Kenapa aku tak menyesalinya?
Banyak yang sedang memperjuangkan idealisme mereka sekaligus mencicil potongan cita-cita yang mereka dambakan. Demi kebahagiaan yang pas dengan ruang hati mereka. Aku di sini berharap yang terbaik bagi mereka dan bagi ku sendiri yang lebih memilih untuk menanti dalam diam. Tidak sepenuhnya diam sebetulnya. Yang harus ku lakukan memang harus di lakukan di sini, di rumah sendiri, bukan yang lain. Secara teknis aku tidak selalu melakukan hal yang bermanfaat. Tapi senyum dan uneg-uneg nya membuatku merasa bermanfaat.
Betapa dia hanya memerlukan kehadiran ku tanpa aku harus melakukan apapun—meskipun tentu aku masih tau diri. Betapa dia hanya perlu berbicara kepadaku tanpa aku harus mendengarkan. Betapa dia hanya butuh sepasang tangan ku yang menekan kakinya dengan lembut tiap malam. Betapa dia hanya ingin nasi dan lauk yang dia masak selalu habis sehingga tidak perlu membuang sisanya. Selalu seperti itu. Apa yang dia harapkan selalu lebih sederhana dari apa yang aku cita-citakan. Tidak jarang membuatku salah tingkah saat ku ungkapkan pengharapan masa depan ku padanya.
Dekat dengan mereka.
Malam adalah waktu berduaan kami. Keluhan dan ceritanya nya adalah candle-light dinner kami. Sambil memijit perlahan telapak kakinya yang sering merasa nyeri karena asam urat yang belakangan ini mulai mencubit kecil syarafnya. Saat dia ungkapkan sekilas keinginan masa tuanya tekanan tangan ku pada kakinya tanpa terasa melemah. Aku melai merasa khawatir jikalau aku tidak bisa mengabulkannya kelak. Saat benak khawatir, lagi-lagi ucapannya membuat ku saat ini mengerti—karena pada saat itu setengah hati ku tertutup kantuk. Ingin melihat semua anaknya hidup berdampingan dan selalu dalam jangkauan gelombang suara yang semakin tersumbat oleh bertambah usianya kelak.
Tidak dipungkiri uang memang akan sangat membantu.
"Pas kamu masih kuliah usaha ibu lumayan lancar tapi saat kamu nganggur kayak gini rejeki kita sedang dicukupkan.", keluhnya dalam senyum. Entah harus menyimpulkan aku adalah anak pembawa sial atau apa. Memecut ide untuk segera magang mencari uang. Sekedar ingin menjadi pria peka yang mengerti kode dari seorang wanita. Cobaan finansial yang kami alami bukan aku tidak mengerti letak penyebabnya, hanya saja sedang tidak bisa tertolong saat ini. Saat beberapa informasi dan rekomendasi sudah ada di tangan tiba-tiba situasi di sini menggenggam tanganku erat. Seakan tidak diperkenankan atau tekad ku yang kurang bulat? Ragu ku berhenti semenjak banyak ucapan terima kasih yang disampaikannya. Banyak ekspresi lega yang ditunjukkannya. Ini semua bukan soal uang—walaupun keluhannya bukan bohong. Uang memang sangat membantu tapi tidak selalu membawa ketenangan layaknya keluarga.
Membantu dengan cara lain.
Rutinitas ku tidak sering keluar rumah. Lebih sering di rumah. Yang memaksa ku keluar rumah adalah mengantar ibu berbelanja di pasar, bisnis, dan nonton bareng AC Milan. Selain itu jika tidak ada event khusus, aku sangat jarang meninggalkan rumah—yang patut disyukuri karena tidak memiliki banyak teman yang masih di wilayah dalam kota. Bukannya apa-apa. Setengah mencuri ilmu dari beliau dalam menjalankan usaha dagangnya yang bisa berlangsung dengan bersahaja sampai sekarang. Tanpa satupun ilmu yang aku pelajari selama 3 tahun belakangan ini, bahkan hanya butuh ilmu setingkat anak SD. Harap-harap cemas di saat hari sabtu menjelang namun penjualan belum menutupi beban upah per minggu untuk 3 orang pekerja yang sangat berjasa untuk memperpanjang usiaku sampai sekarang. Orang-orang yang sangat aku hargai terlepas dari gaji mereka yang jika aku hitung-hitung dengan kebutuhan keluarga yang kami keluarkan tiap hari tidak akan mampu mencukupi. Namun mereka mampu hidup dan cukup bersyukur bisa bekerja di tempat kami. Para pejuang keluarga yang patut diapresiasi. Yang selalu mengingatkan kami untuk selalu bersyukur di saat-saat seperti ini.
Suatu saat aku pernah mengatakan kepada seseorang, “Kodrat laki-laki adalah menjadi pemimpin dan pemimpin yang baik sangat senang merasa dibutuhkan.”. Atau cuma aku? Terlalu lama di rumah membuat ku merasa useless. Jadi aku tidur saja biar sangat dibutuhkan orang-orang di dalam mimpiku sendiri. Bukan. Aku mencari kesibukan dengan sembunyi-sembunyi, di kamar tidur dan kamar mandi. IYKWIM. Ahaha… Setidaknya aku sudah mempunyai keahlian tambahan yang sepele tapi manfaatnya terbilang besar. Nyupir. Dan keahlian nyopir mobil diturunkan Tuhan tepat ketika tenaga sopir sangat susah dicari dan saat peredaran usaha tidak begitu lancar. Aku senang bisa membantu beliau mencari nafkah. Di rumah aku menjadi sopir pribadi. Pekerjaan yang sering direndahkan orang tentunya. Tapi aku merasa senang dengan pilihan ku daripada aku harus magang jauh-jauh. Aku lebih memilih mengantarkan ibu berbelanja ke pasar sambil menghafal harga sayur dan bumbunya daripada berdesak-desakan di angkutan umum setiap pagi. Setidaknya aku sudah bisa melakukan sesuatu untuk keluarga ku. Aku senang aku menjadi satu-satunya lelaki yang bisa diandalkan di rumah. Tidak usah pertanyakan laki-laki lain yang pasti muncul di pikiran kalian.
Masa penantian ini memberi ku ilham untuk menambahkan klausul doa yang aku panjatkan. Aku ingin menjadi kepala keluarga yang bisa diandalkan, terutama untuk keluarga ku sendiri. Keluarga adalah urutan pertama yang tidak mau aku kecewakan. Mungkin ada pilihan “diandalkan atasan dan teman kerja”, itu juga sangat penting namun tidak akan menjadi prioritas utama ku saat dihadapkan pada pilihan siapa yang harus aku kecewakan, keluarga atau profesionalitas.
Waktu luang ini adalah masa pencarian ku tentang arti sebuah kebersamaan. Meredamkan sejenak ambisi dan idealisme. Melihat “hal terbaik” dari mata yang lain. Mencoba memahami begitu kebahagiaan sudah ada sekarang tanpa mengabaikan kebahagiaan yang lain di masa yang akan datang. Karena kebahagiaan ku adalah kebahagiaannya, maka aku akan membuat diri ku bahagia selama mungkin agar mereka bahagia. Mengorbankan diri ku untuk kebahagiaan yang pantas.
Dan setelah semua cerita karangan yang panjang ini, aku memberitahu kalian bahwa cerita dia atas hanyalah fiksi semata. Kata ganti orang pertama dan kedua bukan berarti adalah kisah ku karena aku lebih nyaman menulis dengan gaya seperti ini. Kemiripan latar, nama, situasi dan kondisi hanya kebetulan. Kebetulan benar-benar terjadi, wkwkwk..
Maaf membuat kalian bingung manakah cerita bohong dan bukan. Betapa kebohongan bisa mengacaukan pikiran kita.
Oleh karena itu agar kalian tidak terlalu repot. Kembali ke anggapan awal kalian kalau aku sedang nyampah di sini. Karena aku tidak akan sampai menulis sebanyak ini kalau tidak sedang lebih rendah dan lebih bau dari sampah.
Dalam hitungan satu dua tiga kalian akan mematikan laptop kalian dan tidur dengan nyenyak dan akan terbangun lagi di sepertiga malam terakhir.
Satu
Dua
Tiga..!
0 komentar:
Post a Comment