tanpa anak anak saya rumah akan bersih dan dompet akan penuh tetapi hati saya akan kosong
Banyak tikus di rumahku. Hal itu sangat menjengkelkan. Entahlah kemana jalannya, tikus-tikus itu bisa masuk ke rumahku. Orangtuaku menyarankan agar aku memasang perangkap tikus atau memberinya racun agar tikus-tikus itu mati. Aku tidak segera menyetujuinya. Apalagi aku percaya dengan hukum karma. Percaya bahwa hewanpun punya perasaan seperti halnya manusia. Mereka juga ingin hidup, seperti halnya manusia. Dan mereka merasakan penderitaan maupun kebahagiaan.
Aku memikirkan, bagaimana caranya mengatasi tikus-tikus itu. Aku teringat cerita seorang kawan buddhis di Dhammacitta.org bahwa dia telah berhenti berperang dengan tikus dan nyamuk dengan cara menutup semua celah yang memungkinkan nyamuk dan tikus itu bisa masuk ke dalam rumah. Dengan cara seperti itu, tidak perlu lagi kita membunuh nyamuk maupun tikus. Cerita ini membuatku terdorong untuk melakukan hal yang sama. Kulihat ada beberapa lubang di langit-langit rumah, setelah kuamati dari sanalah tikus-tikus itu bermunculan.
Sejenak aku pandangi langit-langit rumah itu, aku berpikir “Bagaimana ya cara aku menutupinya? Disumpel pake kertas? Hmmm….percuma, pasti bisa dibobol ama tikus. Dipasangi triplek, duh gimana masangnya ya. Maklumlah, aku benar-benar bodoh dalam soal menggunakan perkakas-perkakas kayu. Bagaimana aku nyuruh tukang kayu aja untuk menutup celah itu? Tapi, masa sih aku harus mengeluarkan uang untuk sekedar ngurusin tikus-tikus bau ini?” Sebenarnya aku terlalu malas untuk ngurusin masalah tikus, jadi aku lupakan saja semunya.
Tapi bagaimanapun, adanya tikus-tikus itu membuatku aku dan anak-anakku kurang nyaman. Apalagi anakku yang kelas 4 SD, kalau aku sedang berada di kantor, dia sering masak sendiri di dapur. Kadang-kadang dia meninggalkan masakanya sampai gosong gara-gara takut pada tikus. Malah itu bisa menimbulkan bahaya yang sangat besar, seperti misalnya kebakaran. Aku akan menyesal tidak membunuh tikus-tikus itu, jika terjadi musibah besar hanya gara-gara anakku takut pada tikus. “Duh, gimana ya, aku bingung. Membunuh tikus aku takut pada karma buruk. Tapi membiarkan tikus, membuat anak-anakku sangat takut dan bisa menimbulkan bahaya.”
Sangat menjengkelkan, semakin hari jumlah tikus itu semakin banyak. Setelah dibiarkan, malah si tikus makin ngelunjak. Dia tidak takut lagi bermain-main di kakiku ketika aku sedang mengetik di komputer. Kadang-kadang, salah satu diantara mereka membuatku kaget, ketika aku konsentrasi dengan pekerjaan-pekerjaanku di komputer, tiba-tiba tikus itu melompat dihadapanku sampai ekornya mengenai hidungku. Teramatlah kurang ajarnya tikus-tikus itu. Sangat kesal aku dibuatnya.
Lalu, suatu hari aku ada ide. Aku percaya bahwa walaupun tikus-tikus itu tidak mengerti bahasa manusia, tapi kurasa mereka mengerti bahasa batin yang bersifat universal. Di dalam tingkat konsentrasi tertentu, terkadang aku jadi bisa mengerti bahasa hewan. Oleh karena itu, jika batinku cukup baik, maka mungkin aku bisa berbicara kepada tikus-tikus itu agar mereka pergi dari rumahku.
Dengan sedikit rasa humor, aku membakar dupa. Aku percaya bahwa asap dupa itu bisa menjadi sarana pengantar pesan saya kepada para tikus di rumahku. Dengan sungguh-sungguh, sambil membakar dupa aku berkata, “Wahai para tikus yang ada di rumahku, sesungguhnya aku tidak mau membunuh kalian. Maka saya persilahkan kalian untuk pergi dari rumahku. Jika dalam jangka waktu 4 hari, kalian tidak pergi maka aku akan membunuh kalian semua dan jangan kalian salahkan aku.” Aku merasa berhak mengancam mereka.
Ajaib, esoknya tak satupun terlihat tikus berkeliaran di rumahku. Demikian juga hari kedua, ketiga dan keempat. Tapi pada hari kelima, tikus itu tampak berkeliaran lagi. Begitu melihat mereka, aku bergumam, “oh…kalau begitu berarti kalian ingin mati.” Aku segera berangkat ke pasar untuk membeli racun tikus dan kemudian menaruh racun itu dibawah lemari dapur.
Aku tak habis pikir, apa tikus-tikus itu telah salah tafsir dengan kata-kataku atau gimana ya. Aku bilang bahwa jika tikus-tikus tak pergi dalam jangka waktu 4 hari, maka aku akan membunuh mereka. Maksudku, setelah empat hari seharusnya tak ada satupun tikus yang tersisa di rumahku. Mungkinkah si tikus malah menafsirkan bahwa mereka harus pergi hanya selama 4 hari saja? Kok bisa ya tikus salah tafsir, kirain Cuma kawan-kawan diskusiku yang di DC aja yang bisa salah tafsir, eh ternyata tikus-tikus di rumahku juga bisa salah tafsir juga. Buktinya mereka malah pergi selama 4 hari dan di hari kelima datang lagi dengan jumlah yang tampak lebih banyak. Mungkin selama 4 hari itu mereka berlibur bersama keluarga mereka, trus pulang bawa teman-temannya ke rumah, jadi jumlah tikus makin banyak. Mungkin ayah atau ibu mereka berkata kepada anak-anak mereka, “Nak, mari kita pergi dari rumah ini selama 4 hari! Pemilik rumah ini akan membunuh kita bila kita tidak pergi selama 4 hari. Jadi, nanti hari ke lima kita bisa pulang lagi.” Eh, dasar tikus bodoh.
Tadinya sih, aku memberi waktu jangka 4 hari itu untuk memberi mereka waktu buat beres-beres tempat, nyari tumpangan baru dan angkut-angkut barang. Saya kira 4 hari itu waktunya sudah cukup. Dasar tikus dungu, bukannya pindahan malah piknik selama 4 hari, ngeselin banget. Tapi sekarang aku sudah menaruh racun. “Rasain tuh, kedunguan dan keserakahan kalian terhadap makanan yang bukan milik kalian akan membunuh kalian sendiri.” Demikian gerutuku dalam hati.
Keesokan harinya, tikus-tikus kecil tampak berjalan terseok-seok di lantai rumah. Aku memukul tikus itu pake sandal, “Dasar tikus bau, mati loe!” Tikus itu tampak sudah lemah akibat pengaruh racun, aku memukulnya pula. Beberapa ekor tikus lainnya yang agak sedikit besar dari tikus yang pertama aku temukan di bawah akuarium dan di belakang lemari. Lalu aku taruh mereka di dalam kertas koran, membungkusnya dengn kertas koran itu secara berlapis-lapis dan membakarnya di tempat sampah.
Tikus-tikus yang berukuran sedang ditemukan di mana-mana, aku segera membuangnya, mengubur atau membakarnya. Kupikir, kini rumahku akan terbebas dari hama tikus.
Keesokan harinya lagi, seekor tikus besar nongol dari balik lemari. Tikus ini sangat besar, mungkin bapaknya tikus-tikus kecil yang mati kemarin. Dia menatap ke arahku. “hus! Hus!” aku mengusir tikus itu. Tapi aneh, bukannya pergi, tikus itu malah berjalan pelan-pelan sempoyongan ke arahku. “eh buset, malah nyamperin kau!” aku menjauh karena merasa jijik dan takut digigit.
Rupanya tikus ini sudah kepayahan akibat racun. Dia lebih kuat bertahan hidup dan masih mampu berjalan, walaupun dari mulutnya darah sudah menetes-netes. Tikus itu terus mendekat ke arahku. Aku tengok kiri kanan untuk mencari pemukul, tapi tidak kutemukan sesuatu yang bisa aku gunakan untuk memukul kecuali lain lap lantai. Aku ambil kain itu lalu aku pukulkan ke tikus besar itu. Sejenak tikus itu berhenti dan menatapku. Dari sorot pandang matanya, seolah-olah dia berkata padaku, “mengapa kau membunuh kami, padahal kami hanya mencari makan. Kini aku tengah sekarat dan kesakitan, mohon jangan biarkan aku menderita lebih lama lagi, bunuhlah aku segera.” Lalu tikus itu terus berjalan mendekati aku.
Karena tikus itu tak bisa diusir pergi, aku pun diam saja sambil duduk bersila. Tak lama kemudian tikus itu sampai di depanku dengan tetesan-tetesan darah dari mulutnya, lalu dia kejang-kejang, sekarat, dan matilah dia. Aku kasihan melihatnya. Tapi harus bagaimana lagi, kupikir tidak seharusnya mereka tinggal di rumahku. Kalau toh mau mencari makan, kan mereka bisa tinggal di kebun, di kolong jembatan, di hutan atau dimana kek, asal jangan di rumahku. Aku menguburkan tikus itu.
Sore harinya, ketika aku hendak mengambil nasi di lemari makan, terasa dingin kakiku disentuh sesuatu. Ketika kulihat aku terkejut dan melompat, “eh, buset, ini tikus yang mau mati lagi!” mungkin itu adalah ibunya. Tikus itu melihat ke arahku, lalu dengan terseok-seok dia mendekati aku. Sangat penasaran, mengapa tikus-tikus ini mendekati aku kalau mau mati, apa sebenarnya yang mereka inginkan. Maka aku diam saja untuk menunggu apa yang ingin dilakukan tikus itu padaku.
Tikus besar itu berhenti tepat di depan ibu jari kaki kiriku. Dari gerak-geriknya, sepertinya dia memohon sesuatu. Seolah-olah dia berkata, “Tuan, aku ini adalah ibu dari anak-anak tikus yang telah anda bunuh. Suamiku juga telah mati menyusul anak-anakku. Kini giliranku untuk mati karena racun yang anda berikan kepada kami. Tuan, mohon ampunilah kami! Bila kami harus mati dengan cara seperti ini, mungkin ini sudah nasib kami, tapi mohon janganlah tuan membunuh seluruh keluargaku. Aku masih punya anak, seekor tikus yang masih sangat kecil, biarlahkan dia hidup! Biarkanlah dia hidup, Tuan!”
Glek! Aku menelan ludahku sendiri, karena kasihan melihat tikus itu. Badannya tampak bergetar dan matilah dia dalam posisi seperti sedang memohon di kakiku. Aku tidak tahu, kalau di rumahku masih ada tikus yang tersisa. Tapi sesudah kematian tikus yang mati di depan ibu jari kakiku itu, masih ku temukan seekor tikus yang juga sangat besar.
Malam harinya, seperti biasa, sebelum tidur aku bermeditasi terlebih dahulu barang setengah atau satu jam. Tapi ada yang lain dalam meditasiku kali ini, rasa ngantuk berat menyerangku, sehingga kira-kira baru 10 menit saja aku langsung merebahkan diri di kasur.
Dalam tidur aku bermimpi, aku mendengar suara-suara merintih kesakitan. Lalu aku mencari suara rintihan itu dan akhirnya kutemukan dua ekor tikus yang sedang berguling-guling sambil memegangi perut mereka. Salah satu dari tikus itu berkata kepadaku, “Tega sekali kau meracuni kami, padahal kami hanya mencari makan! Tahukah kamu bahwa dengan meracuni kamu, itu sama seperti kamu tidak menyayangi bapak-bapakmu. Ketahuilah bahwa bapakmu dan bapak angkatmu, matinya akan seperti kami berguling-guling kesakitan.”
Lalu aku mendekati kedua tikus itu. Tiba-tiba mereka berubah menjadi kedua bapakku, yaitu bapak kandungku dan bapak angkatku. Keduanya berguling-guling memegangi perut kesakitan, dan mereka tengah menghadapi ajal.
Aku terbangun dan terkejut dengan mimpi itu. Kulihat jam di dinding menunjukan pukul 2.00. aku ingat, menurut orang tua, jika mimpi pada waktu sepertiga malam terakhir, maka mimpi itu bukan sembarang mimpi, melainkan mimpi yang akan menjadi kenyataan. “Astagfirullah hal adzim!” Demikian gumamku. “Ya Allah, aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk, dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan nama Allah yang maha pengampun, ampunilah segala dosa-dosaku, dan aku berlindung kepada Allah dari kejahatan mimpi buruk.” Lalu aku berwudhu dan shalat malam.
Setelah itu, beberapa hari rumahku sepi dari suara ribut-ribut aktifitas tikus. Tapi entah selang beberapa hari, tiba-tiba kulihat seekor tikus mungil melompat-lompat sangat lucu. Anakku yang paling kecil, yang berusia 2 tahun melihat tikus itu. Dia tertawa-tawa melihat lucunya perilaku si tikus kecil, lalu dia mengikuti kemana perginya si tikus kecil. Begitulah, setiap harinya anakku terhibur oleh tikus kecil yang lucu itu. Aku berkata pada anakku yang paling besar, “Tikus ini ketika kecil tampak sangat lucu dan menyenangkan, tapi kalau sudah besar bau dan menjengkelkan, apalagi kalau sudah berkembang biak.” Tapi aku tidak ingin membunuh tikus, karena ingat janjiku pada si ibu tukus beberapa hari yang lalu.
Setahun kemudian, tikus-tikus di rumahku telah banyak lagi. Aku tak mau membunuh tikus lagi. Kini setiap malam, aku menaruh sepiring makanan di dapur di bawah wastafel tempat cuci piring. Makanan itu selalu dihabiskan oleh para tikus di rumahku. Malam harinya, di dapur tidak terdengar ribut-ribut lagi. Mungkin mereka sudah tau di mana saya menyimpan makanan, lalu mereka makan sampai kenyang dan kembali tidur. Mereka tidak berkeliaran terlalu jauh dan tidak setiap waktu. Asal mereka telah kenyang, mereka berhenti membuat keributan.
Masih kulihat lubang di langit-langit rumah itu. Aku bisa menutupnya sekarang. Tapi biarlah saja tidak kututup. Sungguh aku merasa bersalah kepada tikus-tikus yang telah aku bantai setahun yang lalu. Untuk menebus kesalahanku pada tikus-tikus itu, kini aku melayani tikus-tikus keturunan mereka, menyisihkan rezeki setiap hari untuk memberikan mereka makanan. Jika nanti kurasa telah cukup bagiku membayar utang karmaku, barulah aku akan menutup lubang itu.
berawan com tanpa anak anak saya rumah akan bersih dan dompet akan penuh tetapi hati saya akan kosong
0 komentar:
Post a Comment