Thursday, June 5, 2014



Kimcil dan cabe-cabean. Inilah dua idiom baru di Indonesia, terutama di Jawa. Terminologi ini muncul sejak tahun 2013 dan memasuki 2014 berkembang lagi dengan istilah “cabe-cabean”. Lalu, apa sebenarnya makna dan substansi “kimcil” dan “cabe-cabean”? Karena selama ini banyak pemuda mengatakan dua idiom tersebut, namun ketika ditanya mereka tak bisa menjawab secara ilmiah dan logis. Hanya asal ngomong tanpa tahu filologinya.

Bahasa di Indonesia memang unik. Ia berkembang laiknya tumbuhan, berputar laiknya roda dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun banyak orang berbahasa dengan gaya “sok intelek” dan “sok gaul” agar kelihatan keren, padahal banyak di antara remaja bahkan orang tua tidak tahu dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri, salah satunya kimcil dan cabe-cabean. Maka tidak heran jika fenomena “Vicky” sempat menjadi sorotan tajam di masyarakat. Karena selama ini masyarakat mengalami “kejumudan bahasa” dan tidak pernah ada pelurusan dan edukasi bahasa Indonesia kepada masyarakat awam.

Pada 2013, Saya pernah menulis tentang “Menyikapi Bahasa Vikcy” yang dimuat di Koran Pagi Wawasan yang intinya menjelaskan bahwa fenomana Vicky harus menjadi kesadaran bagi masyarakat untuk belajar lebih dalam tentang bahasa Indonesia sesuai dengan alat ukur benar-salah, baik-buruk dan indah-tidak indah. Tiga ukuran ini harus diterapkan pada bahasa Indonesia.

Di zaman edan seperti ini, kita kadang sering terjebak dengan kata-kata. Dengan kata saja kita sudah bingung. Apalagi dengan kalimat, paragraf, artikel, gagasan, buku. Maka jangan sampai Anda meniru-niru tapi tidak tahu filologinya, epistemologinya, antologi dan aksiologinya. Jika demikian, Anda tak ada bedanya seperti buih yang mudah terombang-ambing oleh ombak ketika ditiup angin. Padahal, kita harus terbiasa bercanda dengan gelombang agar tidak mudah hanya dengan “kekonyolan zaman”.

Memang benar apa yang pernah dinyatakan Prof. Dr. Fathur Rokhman, MHum (2013) dalam bukunya Sosiolinguistik. Beliau menyatakan secara tegas bahwa berbahasa itu harus sesuai konteks, memahami mitra tutur, kondisi, tempat dan waktu. Pemilihan ragam bahasa harus pas dengan lawan bicara. Maka jangan sampai berbicara intelek di hadapan masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah.

Mengenai bahasa yang berkembang di Indonesia memang sudah salah kaprah. Terminologi kimcil dan cabe-cabean juga demikian. Banyak pemuda salah paham dalam menggunakan bahasa ini. Ini merupakan simbol “konslet bahasa” yang terjadi di masyarakat kita. Memang benar apa yang disampaikan Prof. Dr. Rustono, MHum saat mengajar mata kuliah Linguistik di kelas Saya, beliau menyatakan bahasa itu sesungguhnya adalah hasil budaya manusia dan muncul dengan dinamika kehidupan. Zaman dulu masyarakat tidak mengenal kata “alay, lebay, galau, cumungut, ea, kepo, unyu-unyu” termasuk “kimcil” dan “cabe-cabean” yang dewasa ini sudah membumi.

Akan tetapi karena zaman selalu berputar, maka populerlah bahasa-bahasa tersebut. Biasanya pemakai bahasa itu adalah kalangan remaja dan pemuda yang masih usia puber dan belum mengenal baik buruknya sesuatu secara radikal.

Makna kimcil dan cabe-cabean

Jika Anda membuka Google dan kemudian mencari tahu makna kimcil, yang keluar adalah kimcil berasal dari bahasa Jawa yaitu “kimpetan cilik” atau “kimplikan cilik” yang artinya alat kelamin perempuan yang masih kecil. Lebih parahnya, jika Anda mencari di internet tentang “kimcil” yang keluar adalah video dan gambar porno. Lebih mudahnya, kimcil adalah sebutan bagi remaja perempuan yang nakal, suka seks bebas.

Ada juga yang mengatakan bahwa kimcil adalah daun muda kota yang usianya antara 15-23 tahun, biasanya usia SMA sampai mahasiswa. Lalu, benarkah makna itu? Hemat penulis sah-sah saja. Karena sampai artikel ini Saya tulis, pusat bahasa Indonesia dan pemerintah belum mengamini makna tersebut, dan dalam kamus bahasa Indonesia juga belum mengartikan kimcil sebagai bagian dari bahasa baku sesuai EYD.

Dalam hal ini, setiap orang memiliki sudut pandang, angle, landasan, point of view berbeda. Namun menurut penulis, menilai arti kimcil bukanlah dilihat dari ukuran benar dan salah, namun harus dilihat dari paradigma baik-buruk, indah dan tidak indah. Karena jika perempuan dikatakan sebagai “kimcil”, konotasi masyarakat sudah negatif. Artinya, kimcil itu adalah idiom masyarakat untuk memberi gelar pada perempuan kecil sebagai “perempuan nakal”.

Dalam kajian filologi, kimcil merupakan idiom baru yang menggambarkan budaya remaja saat ini yang sudah di luar batas. Artinya, idiom ini lahir dari budaya remaja yang sudah mengenal seks bebas, kumpul kebo dan karena banyak remaja perempuan nakal bahkan menjual diri, maka lahirlah idiom ini sebagai sebutan bagi remaja perempuan nakal. Ini sangat logis. Karena bahasa itu lahir dari kebiasaan dan sesuai yang disimbolkan. Misalnya, tempat untuk mengubur manusia dinamakan “kuburan”, benda yang ditata rapi jika miring, maka disebut “piring” dan sebagainya.

Ya, lebih tepatnya bahasa merupakan “ekspresi budaya” terhadap “kejumudan” perilaku manusia. Maka lahirlah terminologi “cabe-cabean”, padahal secara bahasa Indonesia cabai adalah tanaman perdu yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan ujung meruncing, apabila sudah tua berwarna merah kecokelat-cokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji yang pedas rasanya. Dalam bahasa lain cabai adalah lombok sebagai bahan baku sambal.

Cabe-cabean berari lombok-lombokan yang pedas atau apa? Inilah kesalahan yang terjadi. Namun para ahli linguistik, sosiolinguistik dan psikolinguistik tidak mau tahu akan hal itu. Karena bahasa seperti itu dinamakan bahasa “slang” yang tidak termasuk bahasa baku dan ilmiah. Slang merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.

Lebih-lebih, bahasa “kimcil” dan “cabe-cabean” digunakan masyarakat awam dan tidak mempermasalahkan baik-buruk, benar-salah dan indah-tidak indah. Bagi masyarakat, yang terpenting mitra tutur paham dan hal itu sudah “membumi”. Maka, populerlah istilah-istilah seperti kimcil dan cabe-cabean. Jika ada remaja perempuan terlihat nakal, maka masyarakat menyebutnya “kimcil”. Padahal kimcil atau tidak kimcil tidak semua orang tahu, dan hanya perempuan tersebut yang tahu.

Selain itu, cabe-cabean itu merupakan “kamuflase” dari kimcil. Artinya, cabe-cabean adalah bahasa Indonesia dari “kimcil” karena untuk mempermudah masyarakat non-Jawa mengetahui makna kimcil. Intinya, kimcil dan cabe-cabean adalah idiom baru dalam bahasa remaja yang artinya sama diambil dari plesetan alat vital perempuan yang digabungkan dengan kata “cilik” atau dalam bahasa Indonesia berarti kecil.

Karena terlalu “populernya”, tidak heran jika tahun 2013 band Serempet Gudal membuat lagu berjudul “kimcil” yang menceritakan anak SMA yang sudah melakukan seks bebas dengan teman, guru dan pemuda amoral. Band asal Semarang ini membawakan lagu kimcil dengan mendeskripsikan kondisi pemuda SMA yang sudah mengenal seks bebas. Menurut Serempet Gudal, gadis “kecil, imut, unyu-unyu mungil” yang berani melakukan seks bebas disebut “kimcil”. Lalu, apakah kita tetap menggunakan bahasa ini atau tidak?

Digunakan atau Tidak?

Sebenarnya, pemakaian bahasa kimcil atau cabe-cabean tidak ada masalah dalam paradigma bahasa Indonesia. Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai konteks (diglosia), maka berbahasa apa saja boleh. Artinya, berbahasa yang dimaksud di sini sesuai situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana intim di rumah).

Namun ukuran berbahasa tidak hanya benar-salah, baik-buruk, tetapi juga harus memperhatikan segi indah dan tidak indah, pas dan tidak pas. Apalagi kimcil/cabe-cabean sudah dimaknai dan dikonotasikan “cewek negatif” yang suka melakukan seks bebas. Inilah yang harus dipahami, karena tidak semua cewek perempuan seusia SMA mau disebut kimcil.

Sebagai masyarakat awam, sangat tidak bijaksana jika menggunakan bahasa kimcil sembarangan. Hal itu sama saja melakukan “pengkhianatan” terhadap bahasa Indonesia. Karena bahasa merupakan penyimbolan terhadap sesuatu, kejadian, tempat dan seorang. Jika orang dikatakan bodoh, maka dia bisa berarti bodoh sungguhan, pura-pura bodoh, atau bisa jadi dia difitnah bodoh. Maka kita harus hati-hati dalam berbahasa.

Memakai bahasa kimcil atau tidak itu hak pribadi. Jika Anda beriman pada EYD dan bahasa Indonesia yang baik dan benar pasti mampu menempatkan bahasa sesuai konteksnya tidak asal ngomong kimcil dan cabe-cabean.



Menggunakan bahasa kimcil atau tidak? Anda punya pilihan! Namun semua ada risikonya.


Oleh Hamidulloh Ibda
Pemerhati Bahasa Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Penulis Buku “Stop Pacaran, Ayo Nikah!”

jaman sekarang banyak cewek yang takut kehilangan pacarnya tapi tidak takut kehilangan keperawanannya

jaman sekarang banyak cewek yang takut kehilangan pacarnya tapi tidak takut kehilangan keperawanannya

0 komentar:

Post a Comment