Monday, June 23, 2014


Makna Puasa: Sebuah Kontemplasi

Adalah suatu hal yang menyedihkan, ketika aku baru bisa menyadari suatu hal yang krusial tentang kualitas puasaku setelah harus melewati 21 tahun terlebih dahulu. 

Sebagai seorang anak yang terlahir Islam, menurut aku berpuasa itu memiliki suatu esensi yang sangat mendalam, terlepas dari afiliasinya dengan kepercayaan atau iman kita pada ibadah dan kehidupan keberagamaan, menurut aku puasa punya makna dalam tersendiri yang apabila dilakukan dengan khusyuk, dapat mempurifikasi manusia, dimulai dari fisik, mental hingga jiwanya. Suatu bentuk ibadah yang tidak hanya dilakukan di Islam, juga di agama dan kepercayaan lain seperti Katolik dan Buddhisme.

Tapi, jujur, kalau buat aku, embel-embel masuk surga, bau mulut orang berpuasa bau surga, liat orang makan naikin pahala, ancaman dosa, neraka, kewajiban dalam beribadah itu masalah lain untuk melandaskan kehidupan berpuasa aku. Bukan yang menjadi dorongan utama aku untuk berpuasa.

Justru, alasan paling simpel, paling tidak berbelit belit, dan anehnya paling ngena adalah sebuah alasan yang aku dapet pas aku masih SD, dimana guru agamaku pada saat itu menyuruh anak-anak di kelas menginternalisasi esensi puasa sebagai suatu media untuk dapat merasakan penderitaan mereka yang tidak punya, mereka yang tidak bisa makan setiap perut mereka lapar. Merasakan penderitaan orang lain, di sisi lain, juga dapat membantu kita merefleksikan penderitaan yang kita alami, membantu kita agar bisa mempertajam sensitivitas dan sensibilitas kita terhadap segala rasa yang ada, di dalam, maupun di luar.

Namun, baru baru ini, ada suatu kesadaran yang baru muncul tentang berpuasa dalam diri aku. Dalam proses berpuasa, aku sadar kalau masih ga bisa lepas dari mengeluh. Laperlah, lemeslah, ga bisa mikirlah, ga bisa nulis skripsilah, hauslah, ga bisa konsentrasi, males gerak, dan berbagai juta alasan supaya aku bisa dimengerti sama orang lain. Ingin mempurifikasi diri tapi pamrih? Satu hal yang sudah mengurangi kualitas puasaku.

Dan, setiap rasanya pengen batal, karena haus yang ga kekira, selalu ada pemikiran yang kuat yang bilang “Kamu pasti kuat, Ra. Tenang, kemenangan ada di ujung hari ini.” Kemenangan? Aku mengubah konsep puasa yang seharusnya sesuatu kegiatan yang suci menjadi sebuah kompetisi, sebuah perlombaan, di mana kontestan utamanya adalah Si Ego. Si Ego yang haus akan kemenangan. Mensucikan hati? Pikir lagi.

Jam 6 kurang, adzan pun berkumandang. Rasanya aku pengen segera lari ke meja makan, atau ngebut sampai rumah dan nyalahin semua mobil dan motor yang sama-sama grasak grusuk di jalanan, atau marah-marah sama waiter/waitress yang ga juga ngeluarin makanan ketika adzan udah berkumandang. Seakan-akan dunia harus mengerti aku yang sedang berpuasa, dan yang segala yang lain seketika kehilangan prioritas dalam satu menit tertentu itu, sesaat sebelum jam 6 tiba. 

Puasa yang seharusnya menjadi sebuah ibadah yang meleburkan dinding ego, malah aku buat jadi sebuah momentum untuk membangun dinding ego yang lebih tinggi. Aku malah semakin menghidupkan nyala api keegoisan yang semakin membara selama 1 bulan penuh, memberi makan pada perut ego yang lapar di setiap adzan berkumandang tiap harinya. 

Ga lupa untuk tetap berusaha menutupi perkembangan ego dengan gerak tubuh tanpa makna, shalat sosial, dan membaca surat tanpa memaknai arti. 

Lalu di akhir bulan, aku bisa dengan bangga bilang, “Hatiku telah tersucikan selama sebulan. Selamat datang di Hari Kemenangan.”

*

21 tahun, dan baru aku benar-benar bisa menyadari suatu kesalahan yang berulang setiap tahunnya. Bayangin, mungkin ada beribu-ribu kesalahan yang masih belum aku bisa mengerti dan sadari hingga saat ini. Ini cuma salah satunya. Kayanya beberapa siklus kehidupanpun rasanya kurang cukup untuk bener-bener mengerti arti hidup sadar.

Bismillah.

Semoga tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki kesalahan, sebesar apapun itu.


sumber:
rarasekar

are you ready for ramadhan

berawan com are you ready for ramadhan

0 komentar:

Post a Comment