Wednesday, May 28, 2014



Ini cerita pendek yang pendeknya banget-banget.
~~~~
Diantara Kamu dan Dia
            Aku melangkah santai di sepanjang koridor sekolah. Sesekali kepalaku ikut bergerak kesana kemari mengikuti irama lagu yang mengalir dari headset putihku. Lagu Jet Lagselalu menjadi semangat pagiku. Entah kenapa, lagu ini selalu berhasil membangkitkanmoodku yang lagi down. Selain itu, aku juga suka lagu yang mellow. Kaya Sabarnya Afgan atau All of me-nya John Legend.
            “Hai, Fy”
            Aku menoleh sesaat ke arah suara itu. Seorang pemuda dengan rambut harajukunya tersenyum lebar kepadaku. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis.
            “Dengerin lagu apa, Fy?”
            Aku melepas sebelah headsetku, “Jet Lag” jawabku singkat. Dia nampak mengangguk-angguk.
            “Ehm.. nanti sore lo ada acara gak? Nonton bareng yuk?”
            Aku menghela napas. Entah untuk yang kesekian kalinya dia mengajakku pergi bareng. Entah itu sekedar jalan-jalan atau nonton di Bioskop. Namun jawabanku selalu sama, “Enggak bisa, Cak. Gue mau jenguk saudara” alibiku. Aku meliriknya sedikit. Raut kecewa tampak jelas terpetak di wajahnya.
            “Kalau besok?”
            “Gak bisa, Cak” kataku sedikit kesal.
            “Kenapa sih, setiap gue ngajak lo pergi, lo selalu nolak?”
            “Karena gue memang enggak bisa. Maaf, Cak..”
            Setelah itu, aku mempercepat langkah kakiku dan meninggalkan Cakka. Aku menolak seluruh ajakannya juga bukan tanpa alasan. Hanya saja, aku tak mau menyakitinya.
~
            “Kebiasaan banget sih lo! Kalau orang ngomong di dengerin dong”
            Aku tersenyum sesaat menanggapi ocehan sahabatku. Aku tahu dia sangat kesal dengan sifatku yang selalu acuh ketika moodku lagi down.
            “Ify, dengerin gue” rengeknya sembarin mencabut headset putihku.
            “Apa?”
            “Gue mau curhat” rengeknya sekali lagi. Aku menghela napas.
            “Tentang Iel?” Sekali lagi aku menghela napasku ketika mendapati sahabatku ini mengangguk.
            “Kenapa lagi lo sama dia?” tanyaku malas. Bukannya aku tidak menghargai Shilla –sahabatku- namun seperti yang kalian tahu, moodku lagi benar-benar gak bagus.
            “Gue putus”
            “Hah?”
            Aku segera melepas headsetku dan menatapnya kaget. Perasaan, baru 3 minggu yang lalu Shilla dan Iel jadian, kenapa sekarang sudah putus aja?
            “Sabar ya, Shil. Mungkin Iel emang bukan jodoh lo” kataku mencoba menyemangatinya.
            “Iya, makasih ya, Fy. Gue emang sedih, tapi nginget dia selingkuh sama Acha gue jadi pengen nonjok mukanya”
            “Widih, sadis banget lo” tawaku.
            “Eh ya, Cakka gimana?”
            Aku terdiam. Baru saja aku lupa dengan pemuda itu, eh malah di ingatin lagi sama Shilla. Aku mengangkat bahuku acuh. Ku minum sedikit jus alpokat yang berada di depanku.
            “Kenapa sih, lo gak mau ngasih kesempatan ke dia?”
            “Gue enggak bisa”
            “Seenggaknya lo coba dulu, Fy. Cakka itu baik kok, ganteng, jago basket lagi. Gue kadang kasihan sama dia, yang terus nelen kecewa setiap ajakan perginya di tolak mentah-mentah sama lo”
            “Perasaan gak bisa di paksa, Shil. Gue udah coba buat suka sama dia, tapi gagal”
            Aku menatap gelas alpokat itu dengan hampa. Ada alasan lain yang melatar belakangi mengapa aku tak bisa menyukai bahkan mencintai Cakka. Namun aku tak bisa mengungkapkannya. Karena hal itu sama saja menggali kembali luka lamaku.
            “Apa ada yang lo suka? Makanya lo gak bisa suka sama Cakka?”
            Aku menggeleng dan tersenyum tipis. Shilla sama sekali tak tahu akan masa laluku. Karena memang, aku sangat enggan untuk menceritakan hal itu. Kepada siapapun. Sekali lagi, karena menceritakan masa lalu hanya dapat menyakitiku. Lagi.
~
            Seperti biasa, setiap malam minggu aku dan Shilla selalu nongkrong di cafe langganan kami. Sebut saja Lovacafe. Kadang, kami suka menyumbang lagu disini. Yyaa.. hanya sekedar menyalurkan hobi saja.
            “Ify, coba lo lihat anak cowok yang pake baju biru kotak-kotak itu deh” pinta Shilla.
            Aku menengok kesana kemari untuk melihat orang yang di tunjuk sahabatku itu, “Yang mana sih?”
            “Meja 12 di deket jendela”
            Aku mengalihkan pandanganku ke samping kanan. Seketika mataku menubruk sebuah mata teduh yang sangat menghanyutkan. Namun seiring dengan itu, dadaku terasa sesak. Begitupun dengan hatiku yang tercubit pedas. Aku segera memalingkan wajahku dan menatap Shilla, “Terus? Lo suka? Sambet aja”
            “Sialan! Bukan gitu. Itu anak kelas sebelah ‘kan? Yang sekelas sama Cakka?” tanya Shilla. Aku menanggapinya dengan anggukan tak bertenaga.
            “Kok dia ngelihatin lo terus ya? Lo kenal, Fy?”
            “Perasaan lo aja kali”
            “Masa sih?” tanya Shilla sembari menggaruk tengkuknya. Aku hanya berdeham pelan. Ku lirik sahabatku itu yang masih menatapku dan pemuda di ujung sana bergantian.
            “Beneran kok. Buktinya dia masih ngelihatin lo”
            Aku beranjak dari kursiku dan segera membayar semua makananku dengan Shilla. Sebenarnya aku masih ingin tetap menghabiskan waktu di Cafe ini. Namun, aku lebih menyayangkan hatiku jika harus menahan pedih setiap detik.
            “Ayo, Shil”
            Shilla menatapku heran, “Udahan? Ini belum jam 8, Fy” katanya.
            “Tiba-tiba kepala gue pusing nih. Malam minggu besok ‘kan bisa”
            Aku berjalan beriringan dengan Shilla keluar cafe. Aku sempat melirik meja 12 tadi sebelum aku benar-benar beranjak meninggalkan tempat ini.
~
            Aku membenarkan posisi tubuhku. Yang tadinya terbaring kini terduduk di tepi ranjang. Jam sudah menunjukan setengah 11. Namun, aku masih belum bisa memejamkan kedua mataku. Bayang-bayang mata hitam kelam itu masih saja berputar di benakku. Caranya menatapku masih seperti dulu. Tatapan teduh yang 5 tahun lalu selalu mengisi hari-hariku. Ketika aku baru menduduki bangku 1 SMP. Selalu berhasil menerbangkan kupu-kupu yang bersarang di perutku. Dialah yang pertama kali membuat jantungku selalu berdetak. Namun, itu semua adalah masa lalu.
            Aku mendekati keyboard bermerk Yamaha di sudut kamarku. Aku meletakkan jemariku di keyboard tersebut. Aku menutup mataku. Menyambut terpaan angin dari jendela balkon yang sengaja aku buka. Jariku mulai menari diatas tuts hitam putih itu.

One last cry..
Before I leave it all behind
I gotta put you out of my mind this time
Stop living a lie
I guess I’m down to my last cry
~
            Aku membuka mataku perlahan. Seketika kepalaku seperti terhantam batu yang teramat besar. Samar-samar aku mendengar panggilan lembut menyapa telingaku. Itu suara Shilla. Aku menatapnya heran. Ku tatap sekelilingku. Ruangan ini serba putih.
            “Kok gue bisa di UKS sih? Perasaan tadi kita lagi olahraga deh” tanyaku heran.
            “Lo pingsan”
            “Hah? Kok bisa?”
            “Mana gue tahu. Harusnya gue yang nanya kaya gitu ke elo, Fy. Lo tahu gak, gue khawatir banget! Gak ada angin gak ada hujan lo tiba-tiba pingsan. Untung aja ada Rio. Dan lo tahu? Dia yang waktu kemarin kita lihat di cafe. Aduh, dia so sweet banget deh…”
            Telingaku berdengung ketika mendengar namanya. Ada sesuatu yang kembali menghantam hatiku. Sesuatu yang entah apa itu. Yang jelas membuat seluruh tubuhku mati rasa.
            “Fy? Hello.. Ify? Lo dengerin gue gak sih?”
            “Hah? Kenapa, Shil?”
            “Kebiasaan banget sih lo enggak.. eh, hai Rio” sapa Shilla. Aku memalingkan wajahku seketika, tak ingin menatap wajah itu.
            “Hai, Shil. Ehm.. Ify, lo udah baikan?” tanya Rio. Pemuda itu sangat gugup. Terdengar jelas dari suaranya yang bergetar.
            “Udah” jawabku singkat. Aku beringsut berdiri dari kasur UKS .
            “Eh, lo mau kemana, Fy?”
            “Kelas” kataku menjawab pertanyaan Shilla singkat.
            “Gue anterin ya, Fy?” kata Rio sembari memegang lenganku. Aku menepisnya pelan dan menggeleng.
            “Enggak usah. Gue bisa sendiri”
            “Tapi lo abis pingsan” kata Rio masih ingin mengantarku ke kelas.
            “Gue bilang enggak ya enggak!” kataku ketus. Aku tahu pasti bagaimana ekspresi Shilla saat ini, pasti sahabatku itu begitu terkejut denganku. Apalagi, setahu dia –mungkin aku tak pernah kenal dengan Rio. Haha.. dia salah besar.
            “Ify jangan kasar dong. Lo baru kenal sama dia” bisik Shilla tepat di samping telingaku.
            “Fy, lo masih marah? Gue minta..”
            “Yo, gue gak mau bahas itu lagi” kataku dengan penuh tekanan. Dengan cepat aku segera berlalu dari hadapannya, tanpa mempedulikan Shilla yang menatapku bingung.
            “Ify!”
            Aku menatap Cakka malas. Pemuda itu tak bosan-bosannya untuk mengejarku. Padahal, aku sudah bilang, aku belum bisa membalas perasaannya, tapi dia tetap keukeh untuk mendekatiku.
            “Lo udah gak apa-apa? Kok lo bisa pingsan sih? Lo pasti belum makan ya? Ayo ke kantin bareng gue” cerocos Cakka sembari menarik tanganku.
            “Eh! Lo mau kemanain Ify? Asal tarik aja lo” bela Shilla. Cakka meringis pelan dan melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku.   
            “Sorry, Fy. Ehm.. oh ya, gue mau ngajak lo besok jalan, mau ya? Plis, sekali ini aja” mohon Cakka.
            “Tapi, gue..” aku menghentikan perkataanku sejenak. Rio tengah menatapku dengan wajah sendu. Apa dia menyesal? Apa dia ingin mendapatkan maafku? Tidak! Aku belum bisa memaafkannya. Aku terlalu sakit akan apa yang terjadi dulu. Dia bukan lagi menyakitiku, namun menghancurkanku.
            “Iya” kataku akhirnya.
~
            Aku memasukkan segumpal permen kapas ke mulutku. Seketika, permen tersebut enyah terbawa liur. Cakka memang sangat perhatian terhadapku. Rasa sesal tak bisa membalas perasaannya hinggap di hatiku. Aku merutuki diriku yang masih saja memikirkan Rio. Bilang saja, aku ini korban terjebak nostalgia. Disaat seseorang datang di hidupku untuk membantu menyembuhkan luka-lukaku karena seseorang di masa lalu, aku malah menutup pintu hatiku, menguncinya dengan rapat, bahkan tanpa celah. Dan membiarkan kenangan lalu terperangkap di dalamnya. Menghancurkanku perlahan dari dalam.
            “Ify, gue suka sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?”
            Aku menatapnya seakan menimbang-nimbang, “Engg..”
            “Kasih gue kesempatan, Fy” kata Cakka sembari berjongkok di hadapanku. Aku semakin merasa tak enak. Apalagi banyak pasang mata yang menatapku dengannya.
            “Kasih gue waktu ya, Cak?” pintaku dengan suara rendah. Aku bisa menangkap bayang-bayang kecewa menghantamnya lagi. Dalam hati, aku mengucapkan maaf untuk yang kesekian kalinya.
            “Iyaa, Fy. Gue pasti nunggu lo”
            Aku menatap Cakka dengan perasaan bersalah. Pemuda itu sangat baik padaku, perhatian pula. Aku semakin tak tega untuk menolaknya. Tapi, bagaimana dengan hatiku? Yang jelas-jelas sudah menendang nama Cakka dan tetap mempertahankan nama seorang Rio disana? Aku menggigit ujung kukuku. Bingung harus melakukan apa.
~
            Dua hari berlalu dari kejadian Cakka menembakku. Aku masih belum memberi jawaban apapun kepadanya. Aku terlalu bimbang. Antara memperbolehkan Cakka memasuki hatiku atau tetap menutup hati ini.
            “Lo kasih kesempatan aja ke dia, Fy. Gue gak setuju kalau seandainya lo milih Rio. Dia udah jahat banget sama lo” rutuk Shilla. Aku memang sudah menjelaskan kepadanya dari A sampai Z.
            “Gitu ya? Yaudah, nanti pulang sekolah gue ngomong sama Cakka” putusku akhirnya. Shilla tersenyum senang.
            Sepulang sekolah aku langsung beranjak ke kelas Cakka. Aku ingin menjawab pertanyaannya dua hari yang lalu. Namun belum sempat aku sampai di kelasnya, sebuah tangan telah menahanku.
            “Ify, gue mau ngomong”
            “Apa?” kataku dingin. Ternyata Rio yang menahanku.
            “Gue minta maaf, Fy. Gue benar-benar nyesel waktu itu. Gue gak ada maksud buat..”
            “Permintaan maaf aja gak cukup bagi gue, Yo. Gue kira lo benar-benar cinta sama gue. Tapi apa? Lo cuman jadiin gue bahan taruhan? Haha.. kemana otak lo?” pekikku tertahan. Menyemburkan seluruh emosi yang aku pendam.
            “Itu awalnya, Fy! Tapi lama-lama, gue beneran cinta sama lo”
            Aku menatapnya dengan senyuman miring, “Lo? Cinta gue? Karena apa? Karena merasa bersalah? Lo merasa berdosa? Atau karena lo mau manfaatin gue lagi makanya lo bilang sekarang kalau lo cinta sama gue? Dan gue bisa jatuh ke pelukan lo dan akhirnya lo bisa mainin gue lagi kaya boneka? Hah? Apa itu alasannya lo cinta sama gue?” bentakku. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat.
            “Gue tahu kesalahan gue emang sangat salah. Gue bodoh waktu itu, jadiin lo bahan taruhan sama temen-temen gue hanya demi mendapatkan tiket konser. Gue nyesel banget, Fy. Gue mohon, maafin gue”
            Entah sejak kapan air mataku merembes keluar. Hatiku benar-benar patah.
            “Lo boleh ngapa-ngapain gue. Asal lo mau maafin gue. Lo mau tampar gue? Silahkan.. Lo mau mukul gue silahkan. Lo mau..”
            PLAK!! Aku benar-benar menamparnya, “Itu karena lo udah buat gue jatuh cinta. Gue benci kenapa gue harus cinta sama lo!!”
            PLAK!! Aku menamparnya lagi. Emosiku benar-benar meluap kali ini, “Itu untuk taruhan konyol lo. Untuk cinta bullshit lo! Dan semua omong kosong lo selama ini!!”
            “Tampar gue lagi, Fy. Gue pantas dapatin ini” kata Rio. Tangisanku semakin kencang. Aku baru saja ingin menamparnya, namun kakiku seakan lumpuh. Aku terduduk di koridor sekolah sembari terisak.
            “Kenapa sih lo harus nyakitin gue waktu itu? Gue cinta banget sama lo, Yo! Tapi apa yang lo lakuin? Lo dengan seenaknya jadiin gue bahan taruhan? Gue hancur, Yo! Gue hancur!! Lo dengar gue? Gue HANCUR!” bentakku.
            “Maaf’in gue, Fy. Gue mohon maaf’in gue. Gue benar-benar nyesel. Gue masih cinta sama lo. Kasih gue kesempatan, Fy. Gue mohon”
            Aku ingin sekali memberikan Rio kesempatan. Namun hatiku belum siap untuk disakiti lagi olehnya. Aku masih belum bisa memaafkan kejadian itu sepenuhnya. Semua masih jelas teringat. Harga diriku terasa di injak saat itu! Rio. Pacarku. Menjadikanku bahan taruhan. Hanya untuk sebuah tiket.
            “Maaf.. tapi gue gak bisa. Apa yang lo lakukan udah terlalu kelewatan. Gue gak bisa ngasih lo kesempatan, Yo. Maaf..” kataku dengan sangat berat hati.
            “Cakka!” aku memanggil nama Cakka spontan ketika dia berjalan santai di lapangan basket tak jauh dari tempatku berada. Aku segera menghapus air mataku dan menghampirinya.
            Aku menghela napas dan tersenyum, “Gue mau jadi pacar lo”
~
            Mendapati dia masih mencintaiku membuat diriku seakan melayang. Tapi jujur, aku tak bisa kembali ke pelukannya. Bayangan lalu masih menghantuiku. Aku tak mau hidup di masa lalu. Menatap Rio berarti membangkitkan masa laluku. Apa opiniku salah? Namun itulah yang aku rasakan. Dan aku akan mencoba menatap lurus ke depan. Menghilangkan bayangan Rio, dan akan selalu menatap Cakka. Yang jelas-jelas mencintaiku.
END
sumber:
manikpurnamadewi

bahagia itu ketika aku kamu menjadi kita dan enggak akan pernah ada dia


berawan com bahagia itu ketika aku kamu menjadi kita dan enggak akan pernah ada dia

0 komentar:

Post a Comment