Tuesday, July 29, 2014




SELESAI mandi sore dan hendak berganti baju, Arini berdiri berlama-lama di depan cermin. Dipandangi tubuh telanjangnya. Dari ujung rambut kepala sampai ke ujung kaki.

Ada yang terasa aneh ketika Arini mengawasi sosoknya di balik cermin. Pinggangnya yang dulu ramping, sekarang gendut. Pipinya yang dulu tirus, sekarang tembem. Pahanya yang memang besar, bertambah besar. Perutnya yang rata kini berubah membukit. Bobot tubuhnya pun melonjak. Ya...tentu saja karena Arini sekarang sedang hamil.

Arini bisa merasakan ada gerakkan-gerakkan lembut yang berasal dari dalam perutnya. Wanita ayu berusia 25 tahun itu bisa merasakan ada kehidupan lain di sana. Kehidupan yang tak dilihatnya, tapi dirasakan keberadaannya. Ketika dia menggerakkan kaki-kaki mungilnya. Ketika dia  menonjokkan jemari lembutnya. Atau ... ketika kepala kecil itu bergeser, menyiratkan sebuah kehidupan. Mungkinkah di sana ada dunia luas...yang membuatnya betah bermain?

Ah, Arini membayangkan...dia  yang ada dalam kandungannya akan segera lahir. Dua bulan lagi, dia laki-laki atau perempuan? Arini tak mempersoalkannya. Yang penting kelak bayinya lahir dengan selamat. Tapi suaminya, Mas Ermanu menginginkan anak pertama mereka kelak, seorang lelaki.

“Aku ingin kelak dia lahir lelaki...,” Ermanu berbisik lembut. Membelai perut Arini. Menciuminya. Arini geli, terkikik.

“Memangnya kenapa kalau dia lelaki, Mas Bim?” tanya  Arini bermanja-manja.
“Ya...bisa aku ajak bermain bola dong, sayang. Aku bayangkan, kelak ketika usiaku belum tua, dia sudah tumbuh remaja. Kami bisa bermain bola bersama,  renang bersama,  main sepeda bersama.

“Ah, kalau cuma main sih kita bisa kan, Mas....” Arini tersenyum genit, nakal.
“Iya sih...sekarang pun kalau mau bisa kok kita main...” Ermanu tersenyum  penuh arti. Mencium tak hanya perut Arini. Lalu mereka melabuhkan kasih asmara sebagai suami istri yang saling mencintai.

Arini tersenyum, membayangkan kemesraan di hari-hari lalu kala suaminya menemaninya. Ketika dia tengah hamil muda. Tapi ketika kehamilannya menjelang usia 4 bulan Ermanu ditugaskan di Papua. Arini memakluminya. Begitulah risikonya menjadi istri tentara. Sering ditinggal suami. Tak hanya ditinggal piket malam. Juga berangkat perang ke negeri rawan.

Arini harus  ikhlas melepas kepergian suaminya tugas. Mas Ermanu telah dilantik sebagai prajurit TNI, dan telah bersumpah  untuk mengemban tugas negara di pundaknya. Tugas negara bagi tentara adalah di atas segalanya. Tak peduli istri mau melahirkan. Seandainya panggilan tugas negara mengundangnya, sebagai prajurit dia harus berangkat! Tidak boleh tidak!

                                                              **** 
Tiga purnama sudah Mas Ermanu pergi.
Dua belas minggu sudah mereka berpisah. Betapa Arini merasa hari-harinya sunyi.  Sepi. Waktu terasa lambat dan sangat lama berganti. Seandainya Arini bisa, betapa dia ingin hari indah itu segera tiba. Arini ingin melahirkan didampingi sang suami tercinta.

Tapi rasanya keinginan Arini ini sesuatu yang mustahil. Suaminya kelak akan pulang dari tugas, setelah Arini melahirkan! Masa tugas Mas Ermanu di Papua masih lumayan lama. Sementara saat Arini melahirkan tinggal dua bulan lagi!
Ah, Arini menghela nafas resah. Dipandanginya seputar kamarnya yang rapi. Arini tba-tiba merasa haus. Arini bangkit dari  pembaringan, membuka  pintu kamar hendak menuju ruang makan.

Ketika melewati ruang tamu, Arini melihat Farasati  sedang belajar. Adik iparnya yang masih  duduk di kelas 2 SMA itu-sedang mengerjakan tugas sekolah. Ya, Laras lah yang menemaninya selama Mas Ermanu pergi.
“Ngerjain pe-er apa sih Ras?”
“Matematika. Sulit nih...”
“Ya, cari dong rumusnya dan cara pengerjaannya.
“Iya sih. Tapi bikin kepala pusing,  Mbak. Mendingan ngerjain pe-er lainnya. Sosiologi, Sejarah atau bahasa Indonesia.”

“Misalnya mengarang ya Ras?”
“Iya sih mbak. Apalagi ngarang cerpen. Duh... bisa lupa waktu!”

Arini tersenyum, teringat kesukaan adik bungsu Mas Ermanu itu- yang suka nulis cerpen. Sejak kecil Laras suka dan terbiasa menulis diary. Bermula dari sanalah dia mengembangkan hobinya, mencoba bikin cerpen. Laras ternyata berbakat jadi penulis fiksi, terutama cerpen. Beberapa karyanya pernah dimuat media. Gadis cute 16 tahun ini  juga pernah memenangi  lomba penulisan cerpen tingkat nasional. Nama Laras disebut-sebut sebagai penulis berbakat. Penulis muda bermasa depan cerah! Sebagai kakak Arini merasa ikutan bangga. Ah...

         “Mbak  Ni...kelihatan melamun. Ada apa sih Mbak?”
         “Nggak...nggak ada apa-apa.”
         “Mbak Ni...teringat Mas Erman?”
         “Ya, mungkin. Entahlah, Ras.”
         “Laras ngertiin kok perasaan Mbak. Tapi ibu bilang, inilah risikonya menjadi istri tentara kan Mbak. Harus siap ditinggal pergi tugas, dalam keadaan apapun.”

Ya, ya, Arini membenarkan apa yang dikatakan Laras. Sebenarnya Arini tahu apa yang..., tapi entah mengapa...hari-hari terakhir ini dia selalu terbayang-bayang pada sosok suaminya. Mungkinkah ini refleksi dari keinginannya yang kelak ingin melahirkan dengan ditunggui suami tercinta?!

Ah ,sedang apa sih Mas Ermanu sekarang? Sedang piket malam sambil nonton TV? Atau sedang jaga sambil main catur dan berteman secangkir kopi?
Atau Mas Ermanu sedang istirahat malam, tapi tak bisa tidur...karena memikirkannya, merindukannya? Seperti keadaan dirinya, di sini, di malam ini...

“Mbak  Ni tidur dulu ya Ras. Sudah ngantuk nih. Sebelum tidur tolong angetin  mangut dan tumis kacang panjangnya,  Ras. Lalu periksa jendela dan pintu...”

Laras mengiyakan. Arini bagai membawa tambur perlahan berjalan menuju kamarnya. Membaringkan diri di ranjang. Telentang. Memandang langit-langit. Menerawang. Lalu mencoba memejamkan mata. Menepuk bantal berulang-ulang. Mendoa. Berharap suaminya datang, walau dalam mimpi....

                                                      *****

 Arini membaca surat dari suaminya, dengan perasaan bahagia, sedih, kangen campur aduk membaur menjadi  satu. 

Kabar Mas baik-baik saja, dik. Mas sangat merindukanmu. Mas ingin berjumpa kamu. Seandainya Mas punya sayap, mungkin Mas sudah terbang menghampirimu. Melepas kerinduan dalam dada ini. Tapi sayang...Mas hanya punya burung. Burung mas pun tak punya sayap. Burung mas malah kesepian...

Ah, Arini tersenyum menelusuri goresan-goresan pena Mas Ermanu yang isinya agak nakal. Arini pun mendambakan saat-saat indah itu. Tapi jarak terbentang jauh memisahkan. Entah kapan Mas Ermanu pulang. Arini akan menjaga kesetiaan ini. Sampai  kelak  Mas Erman  kembali, janji Arini sambil mendekap foto suaminya.

“Tok---tok...tok!”  Suara ketukan pintu mengejutkan Arini. Buru-buru diletakkannya surat dan selembar foto di meja rias. Arini memandangi dirinya di balik cermin.
      “Mbak Ni...udah siap?”
      “Ya, ya sebentar lagi. Tungguin...”

Hari ini mereka berniat belanja ke swalayan. Belanja kebutuhan Lebaran. Lebaran tanpa terasa tinggal beberapa hari  lagi. Padahal mereka belum belanja untuk kebutuhan menyambut hari kemenangan itu. Belum membeli sarung untuk Bapak, mertua lelaki dan saudara lelaki. Belum membeli  mukena untuk ibu, mertua dan saudara perempauannya. Lalu baju dan kue untuk keponakan.

Ah, sebenarnya  Arini malas untuk ke luar rumah. Tapi daripada di rumah bengong melulu, lebih baik bepergian. Apalagi waktu melahirkan sudah dekat. Kata bidan Yuni, yang sering memeriksa kehamilannya: dia harus membiasakan  jalan-jalan untuk memudahkan proses melahirkan. Agar persalinannya kelak lancar.

                                                         *********
Arini sibuk menata kado Lebaran untuk keluarganya. Laras pun sibuk membungkusinya. Lebaran ini mereka akan pulang ke Jepara.
Daripada Lebaran di tangsi tentara, sunyi tanpa saudara kerabat, lebih baik Arini mudik. Arini teringat Lebaran tahun lalu , ketika untuk  pertama kalinya dia merayakannya bersama suaminya. Setelah sungkem pada ibu, bapak dan  keluarga besarnya di Jepara, mereka berdua terbang ke Jakarta. Ke mertua dan keluarga Mas Ermanu di kota Metropolitan  itu.

Tapi tahun ini? Arini sudah membayangkan, dia akan berlebaran tahun ini tanpa kehadiran suaminya. Tak mungkin Mas Ermanu meninggalkan tugas di Papua, dan pulang untuk berlebaran bersamanya.... Karena  letih, Arini tertidur di sofa. Laras masih sibuk membungkus kado-kado mungil untuk keponakanya yang jumlahnya  lumayan banyak,  sementara TV di depannya masih menyala. Iklan. Lagi-lagi iklan. Laras memijit remote. Ketika sebuah televisi swasta menayangkan sebuah headline  news...

“Beberapa prajurit  TNI yang sedang mengadakan patroli di daerah perbatasan  Indonesia-Papua Papua Nugini mengalami kecelakan. Jembatan gantung yang mereka lewati runtuh. Musibah pun terjadi akibat jembatan putus ini.Seorang  prajurit bernama  Ermanu Citro Pratama, berpangkat letnan satu  menjadi korban. Dia tewas....”

Ermanu  Citro Pratama? Apakah ada prajurit bernama sama dan sedang tugas di Papua pula?  Hati  Laras terhentak. “Kak Erman...”  Laras gugup dan paArin membangunkan Arini. Duhai, demi Tuhan...mengapa Arini tak jua bangun?

“Mbak Arin, Mbak Arin, bangun! Bangun!  Kak Erman...”  Laras menangis.
Arini  tersenyum dalam tidurnya. Dia tengah bermimpi indah. Bersama mas Ermanu bercanda di sebuah taman bunga nan mempesona. Saling berkejaran. Ketika suaminya  tiba-tiba menghilang di antara  semerbak bunga-bunga.

Mas Erman!?  Mas Erman sembunyi di mana?”
Arini terus mencarinya, sambil menangis.
“Mas Erman, di mana kau Mas?! Mas Erman....!!

 Kota Ukir, Januari 2009- Juni 2012  

Penulis: Kartika Catur Pelita
sumber: news dot okezone dot com

i love you too
berawan com i love you too


0 komentar:

Post a Comment