Tuesday, July 22, 2014



Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu mengetahui prinsip dasarTunjangan Hari Raya (“THR”) terlebih dahulu. THR adalah pendapatanpekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain, demikian yang disebut dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai THR, antara lain bisa Anda simak dalam artikel-artikel berikut:
 
Artinya, kita bisa ketahui bahwa secara prinsip, THR merupakan pendapatan/upah yang diterima oleh karyawan/pekerja. Oleh karena itu, pengaturannya kita mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”). Adapun ketentuan mengenai perhitungan upah dapat kita jumpai dalam Pasal 24 PP 8/1981:
 
(1) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah adalah:
a.    denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 1, Pasal 22, dan Pasal 23;
b.    sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian tertulis;
c.    uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah dibayarkan dan cicilan utang buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.
(2) Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima.
(3) Setiap syarat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk mengadakan perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah batal menurut hukum.
(4) Pada waktu pemutusan hubungan kerja seluruh utang piutang buruh dapat diperhitungkan dengan upahnya.
 
Dari sini kita bisa lihat bahwa bisa saja suatu pendapatan/upah itu dikurangi/dipotong dengan utang karyawan/pekerja kepada perusahaan karena utang itu merupakan salah satu hal yang dapat diperhitungkan dengan upah. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, THR sebagai pendapatan karyawan bisa saja dipotong oleh pengusaha karena ia memiliki utang di perusahaanDengan catatan, pemotongannya itu tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima [lihat Pasal 24 ayat (2) PP 8/1981]. Hal lain yang perlu dicatat juga adalah cicilan utang karyawan ke perusahaan itu harus ada bukti tertulisnya.
 
Adapun pembatasan perhitungan tidak boleh lebih dari 50% (lima puluh persen) dimaksudkan agar buruh tidak kehilangan semua upah yang diterimanya. Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka pengusaha harus mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah perhitungan tersebut tidak melebihi 50% (lima puluh persen). Dengan kata lain, pemotongan THR tidak boleh lebih dari 50% juga bertujuan agar karyawan yang bersangkutan tidak kehilangan semua THR yang diterimanya dan semata-mata bertujuan agar pekerja dapat merayakan hari raya keagamaannya. 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

sumber:
hukum online dot com

THR sedang disiapkan

berawan com THR sedang disiapkan

0 komentar:

Post a Comment