Wednesday, May 7, 2014

andai aku bisa memilih aku tak akan pernah mau hidup seperti ini but sometime is have no choice


Si Pelacur dan Kekasihnya (kasmaran)
Mereka bilang saya hina…
Mereka berteriak, ”pelacur!”…
Saya tarik napas dalam-dalam, kemudian ada yang menggelitik di hati ini hingga membuat saya tertawa. Mereka itu…tanpa diberitahu-pun saya tahu saya ini hina, tanpa diingatkan-pun, saya tahu saya ini pelacur.

Saya tidak menjajakan diri di pinggir jalan atau dipajang di balik etalase, tidak…saya masih lebih beruntung dari pada saudara-saudara perempuan saya itu. Mereka mengetuk pintu saya, sedikit basa-basi lalu merangkak di kasur saya. 

Itu saya..saya membiayai hidup saya dengan menjual kelamin….

Berpasang-pasang kekasih lewat di depan mata. Memamerkan kasmaran sambil berpegangan tangan. Ku soroti satu-persatu dengan tatapan iri sesekali, terkadang menunduk, berpura-pura membaca novel tebal dalam dekapanku.

Apa sih kasmaran itu? Apa bentuknya memang seperti hati dan berwarna merah atau pink?
Jelasnya, aku tak berani rasakan…aku mencegahnya! 
Tidak munafik, aku mendambanya…cukup sesosok yang menyentuh, yang mengecup, yang menggenggam dan menatap dengan cinta…
Kalau hanya disentuh, dikecup, didekap dan dipandang aku juga pernah, sering malah! Saat kucoba rasa dan kuselami mata itu…nafsu..

Hahh…
Sudah ku coba, sungguh keras usahaku untuk mencegahnya…
Aku terbuai dengan mimpi sepertinya, hingga malas menatap nyata yang ada. Mungkin Tuhan terlalu iba hingga mempertemukan aku dengan lelaki ciptaannya. Terkadang aku meninggalkannya, menyakitinya…tapi ia berdiri di sana. Menungguku…Di lorong sempit nan kumuh, yang sama sekali tak pantas untuk dijejaknya! Ku suruh ia pergi berkali-kali, tapi selalu berakhir aku bersimpuh tersedu-sedu didekapnya.

Ini kisah pelacur dan kekasihnya…
Apa yang kalian harap dari ikatan ini? Kisah termehek-mehek ala sinetron? Happy ending seperti novel roman ABG?
Tidak…rasa yang aku dan ia miliki simpel adanya, dan manis terasa…tapi tak semua bersedia rasa ini ada.

Rasa ini seperti kotak Pandora untukku. Aku tak akan pernah bisa mundur ataupun maju karenanya, terlanjur…dan percuma disesali. Rasa ini membuatku berani berteriak nyaring tentang segelintir harga diri yang masih kumiliki di antara hina. Ku jawab panjang-lebar semua tanya yang berawal dari ”kenapa?”

”Saya jawab semua!”
”Iya! Saya pelacur hina! Saya perempuan yang menjual kelamin demi uang! Kamu pikir saya bangga dengan hal itu?! Pernah kamu berkaca dan merasa jijik pada dirimu sendiri?!”
“Dan kamu…siapa kamu berani mempertanyakan perempuan seperti apa saya ini?! Siapa kamu berani mengingatkan betapa hinanya saya?!”
“Saya pelacur…Demi Tuhan, saya memang hina! Pernah kamu rasa sakitnya? Mereka berpaling, bahkan perempuan yang telah melahirkanmu berpaling karna malu! Mereka menutup telinga dan hati atas derita saya…mereka bilang saya berhalusinasi…Nyata kamu tahu! Nyata saat tangan-tangan itu memaksa dengan birahi binatang menyentuhku! Nyata saat tangis dan jeritku hanya dianggap lalu…aku terluka…aku terhina sebelum aku menjadi benar-benar hina!”

”Demi Tuhan Ratna! Tutup mulutmu! Hentikan bualanmu…ibu malu..malu!” Begitu katanya. Katanya lagi, aku harus diam… ”ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk berbuat hina! Apa kata orang-orang?!! Pikir kamu perasaan ibu!” lalu pintu itu tertutup, selamanya…ku ketuk sesekali, tak pernah ada jawaban…dan aku berakhir di jalan.

”Biar ku jawab lagi…”
”kamu tahu siapa yang mengetuk pintu kamarku setiap malam? Siapa yang menyentuhku dengan birahi binatang? Siapa yang menghujaniku dengan uang dan perhiasan? Mereka! Ya..mereka yang duduk di atas singgasana emas! Pria berdasi dengan setelan perlente yang tiap malam meninggalkan anak-istri untuk bergumal di atas ranjangku! Mereka membayarku dari uang hasil merampok rakyat! Aku menikmatinya…” lagi-lagi rasa geli yang membuatku ingin tertawa, menikmati hina… ”HAHAHAHAHAHAHA!!!”

”TUHAAANNNNN!!! SAYA PENDOSA!…..Demi Tuhan tak pernah sekalipun ku rasa pantas rasakan ini! Lihat saya!” Ku paksa ia yang kupanggil kekasihku untuk menatapku. ”Lihat aku….apa yang tersisa dariku? Tak pernah sekalipun ak congkak merasa pantas dapatkan kasihmu…sungguh aku berdosa menyimpanmu dalam hidupku…Mengapa baru kau pertanyakan? Mengapa baru kau hina aku sekarang!”

Dan akhirnya semua berakhir sama…berpaling. Untuk sesaat saja bahkan tak menoleh untuk sekedar memberiku iba…

Pintu lembali diketuk. Mengganggu malamku…ku tinggalkan sejenak koper-koper setengah terbuka, kuletakkan beberapa helai baju di atasnya. Sial! Masih berantakan! ”Siapa?” tak ada jawaban. Aku sedang tak ingin membuka pintu untuk orang asing. Ku intip sedikit…ia berdiri dengan tubuh dan pakaian basah. Napasnya tersengal-sengal. Ku lebarkan pintu rumah. Aku tak berucap satu katapun, tapi kugenggam tangannya dan ku tuntun ia masuk. Ia memandang sekeliling, tapi juga membisu.

Ia duduk di atas kasur, lalu membuka kemeja putihnya yang basah. Di luar, hujan semakin deras….Aku kembali dan menemukan tubuhnya yang tampak lelah direbahkan. Kupindahkan kepalanya ke pahaku, kubelai rambutnya…ia memeluk pinggangku, mengecup perutku yang tampak membuncit. Apa kubilang..aku selalu berakhir dengan tangisan di dekapnya…. ”Ini hadiah dari kekasihku…”. kataku di sela tangis. Entah apa ia mendengarnya, karna petir tengah bersahutan.


Gemuruh suara kereta beradu cepat dengan degup jantungku. Di sampingku, ia menggenggam tanganku erat. Bukan ia yang seperti biasanya, pakaian yang semalam bekas kehujanan tampak lusuh. Tapi ia lebih tampan dari biasanya tanpa kacama tebal yang menyembunyikan mata indahnya, dan rambutnya tak terlalu tertata klimis. Kekasihku…tampan sekali..

Keretaku tiba…sesaat kami tertegun. Lalu berdiri dan saling bertatapan…. “Tak perlukah aku ikut bersamamu?”

Aku menggeleng, ”tidak saat seorang perempuan lain tengah menangis tersedu di sudut kamarnya…tidak, karna aku tak ingin merebutmu dari siapapun..setidaknya, ia tak berpaling darimu. Ia masih menganggapmu sebagai darah dagingnya…”.

”Aku menjadi lelaki yang sangat tidak bertang…”.

Ku kecup bibirnya sebelum ia melanjutkan kata-kata… ”Saat semalam kau ketuk pintu rumahku dan singgah di atas ranjangku…kau telah mempertanggung jawabkan semua… tak ada yang berakhir…”.

”Aku tak akan bisa melihatnya tumbuh besar dan mendampingimu…”. Sebutir air mata yang langsung kuusap sebelum sempat mengalir dipipinya.

”jadila pria dimata mereka di atas jalan yang kau pilih, tatap mata mereka dan katakanlah ya atau tidak dengan lantang…tatap mereka dengan segala keyakinanmu…lalu carilah aku, kembali padaku dan lihatlah kaki mungil melangkah di pekarangan rumah dan aku yang tengah memperhatikan langkahnya, melihatmu sosokmu di dirinya…”.

Perlahan ia merenggangkan genggamannya…perlahan pula ragu dimatanya sirna… ”sampai jumpa”…katanya, dan kubalas dengan kecupan jauh. Hey kekasihku, kutitipkan hatiku untukmu…dan akan kujaga hadiamu ini…


Bertahun sudah…kadang ku tatap jalan kecil di depan pekarangan rumahku. Makhluk kecil dengan senyum menggoda melambai padaku, ia tertatih dengan langkahnya. Ku biarkan ia menjajal rerumputan dengan kaki telanjang. Ah..sore yang cerah…ku tatap langit sebentar…

”Selamat sore…”.
Kupicingkan mata dan mengamati si pemilik suara. Peri kecil-ku pun mendangak sambil memicingkan mata bulatnya yang disilaukan kilau mentari yang berjingkat turun. Sosok itu mengangkat tubuh mungil peri kecilku ke atas bahunya yang lebar. Langkah kakinya mantap mendekat…kini ia di hadapanku. Jelas sekali dapat ku tatap wajahnya yang lama ku rindu…

”Aku pulang…”. Lalu mendaratkan kecupan didahiku.

Kulirik si peri kecil, ”ayahmu sudah pulang…”. 
Ku genggam erat tangan besar kekasihku, ku tuntun ia masuk ke dalam rumah kecil kami.



berawan com andai aku bisa memilih aku tak akan pernah mau hidup seperti ini but sometime is have no choice

0 komentar:

Post a Comment