Monday, May 5, 2014

kamu disana aku disini kamu sama dia aku sama siapa


Banyak Cemburu di Tempatku
Amor, telah lama tidak ku ceritakan kisahku. Kesibukan menyekap, mempermainkan waktu. Jangan menganggap aku tak ingat. Laut tidak pernah melupakan darat. Demikian aku padamu sepanjang hayat. Kau tidak mungkin memancingku untuk bertanya kembali kan? Kau tahu cinta telah membawa kita pada kepercayaan. Seperti Kahlil Gibran yang menyerahkan jiwanya pada api agar tetap menyala, karena api itulah cinta. Kita tidak harus takut Amor, dalam cinta tidak ada kesakitan. Bukankah kita sepakat peleburan menuju kebahagiaan? Amorku, aku tidak bermaksud memberikan pelajaran.

Akan ku ceritakan tempatku. Tempat yang kau pilih untuk menitipku. Di tempat ini, mendung menyelimuti langit tapi tidak mendatangkan hujan setelahnya. Aku semakin sulit membaca tanda. Mungkin kepastian tidak lagi memilih semesta. Di tempatku ini, angin menghidupkan gairah dedaunan. Menari atau sedang bercinta, hanya mereka yang merasakan. Sesering angin menemui kekasihnya, aku cemburu.

Di siang hari, menikmati waktu di pinggir danau lebih menentramkan. Melihat kodok bernyanyi girang. Genangan air yang tenang. Di tepinya, ku lihat kumbang merayu bunga. Tangkainya merunduk, betapa malunya dia. Kemudian luluh dan menyerahkan sari patih demi pengantinnya. Ibarat perempuan dan laki-laki, madu akan sangat memabukkan. Sudah menjadi sifat kumbang (read, oportunis), hanya mencari kenikmatan. Menggoda adalah keahlian. Dan bunga yang lemah, dengan mudah dijerumuskan. Di waktu pagi bunga mulai menyebar pesona, wangi yang perlahan pergi menjelang petang. Pantas jika lelakinya tidak hanya seorang. Danau yang menyaksikan, kagum pada bunga yang setiap waktu memperlihatkan ketegaran. Pada danau yang damai dengan penantian, aku cemburu.

Meninggalkan danau dan kedamaiannya. Kakiku menelusuri jalan pulang. Tanah yang ku injak, Tanah yang menyerahkan dirinya pada akar pohon. Merawat dan membesarkannya hingga puncak tak lagi mampu menyentuhnya. Meski hanya pada akar, tanah tidak pernah membenci pohon. Daun-daunnya yang gugur menyampaikan pesan cinta pohon padanya. Meski tidak juga demikian, tanah tetap percaya cinta pohon hanya untuknya. Sama ketika dia hanya sekedar bibit. Daunnya memilih angin karena semesta menyerahkannya. Bukan berarti akar dan batangnya meninggalkan tanah. Sebab darinyalah pohon memperoleh kehidupan, dari airnya yang ramah. Sesering angin membelai daun, selama itu pula akar mencintai pohon. Lewat akar yang merambat, mereka menjalin cinta. Pada tanah dan ketulusannya, aku cemburu.

Banyak cemburu di tempatku. Angin yang selalu menemui daun, tidak ada padaku.  Danau yang dengan tenang menyimpan cinta dan menanti sebuah kecupan, tidak ada padaku. Tanah yang menemani pertumbuhan pohon, tidak ada padaku. Di luar kemampuanku melampaui tempat kita yang berbeda jauh. Terpisah ruang lebih sering mengundangku di pesta kesedihan padahal tenang dalam penantian adalah hal yang harusnya ku lakukan. Aku tidak bisa selalu mendampingimu, menemani perkembanganmu.


berawan com kamu disana aku disini kamu sama dia aku sama siapa

0 komentar:

Post a Comment