Friday, October 10, 2014



Demi Mimpi Neraka pun aku Tempati


Panti Asuhan adalah istana yang layak bagi anak-anak berstatus yatim piatu, juga−anak-anak yang tidak mampu. Istana yang menyimpan cahaya impian anak-anak yang tidak beruntung ini merupakan tumpuan akhir bagi kelangsungan hidup mereka. Masa depan yang suram, sedikit akan lebih bersinar. Bangunan harapan serta mimpi menghampiri kehidupan mereka. Seringkali orang-orang sekelilingku menawarkan solusi yang satu ini.
“Jika kamu mau sekolah, kamu masuk panti saja, Bur!”
“Ya,” Jawabku mengangguk. Sedikit menyembunyikan penolakan terhadap solusi mereka.
Aku heran, mengapa tempat ini kerap kali terpikir oleh mereka. Sementara mereka saja tak pernah merasakan tempat itu.
“Apakah memang inilah jalan takdirku?” tanyaku dalam hati.
 Lama-lama kata itu menancap dalam pikiranku. Semakin kuat melintas dalam benakku, semakin kuingin mengetahuinya. Rasa penasaran memuncak. “Aku rasa ada benarnya juga perkataan orang kampungku” ujarku dalam hati, jika melihat keadaan ekonomi keluargaku yang tidak bisa dibilang pas-pasan ini. Memang tak bisa dipungkiri, setiap hari makan nasi tanpa lauk pauk−kuah ala air garamlah yang menggenangi piringku. Jauh dari kenikmatan hidup. Sepotong ayam yang empuk bahkan tak pernah menghampiri piringku. Adanya, aku hanya bisa mencium aroma-aroma itu dari tetangga sebelah rumahku. Bangun dari tidur, aroma ayam gorenglah yang membuat terperanjat dari tempatnya. Memang tak bisa kurasakan nikmatnya secara nyata, tapi bau harum semerbak bumbu, yang bersatu dengan ayam, mampu membawa imajinasiku mencicipinya.

***
Aku seorang bocah ingusan yang baru berumur 7 tahun. Namuku Muhammad Burniat. Nama yang penuh dengan makna. Nama Burniat diambil dari nama seorang panglima perang dari dari kota Bengkulu. Neneklah yang menyisipkan nama itu. Mungkin ada harapan besar yang ia sembunyikan di balik namaku.  Kampung nan indah dengan sejuta tumbuhan kelapa yang menjulang tinggi, menemani hidupku. Hari-hari aku habiskan dengan bermain bersama anak-anak lainya. Berlari, berenang di sungai dan kadang kala aku menghabiskan waktu di tengah hutan seorang diri, menunggu runtuhan kelapa yang jatuh. Rasa beraniku tak sekecil tubuhku. Semua yang berhubungan hutan, kerap kali menjadi mediaku untuk bermain hingga sang senja menyelam tak kembali untuk sesaat. Hutan adalah teman baik yang selalu menemaniku. Menemani saat teman-teman yang lain sedang menuntut ilmu. Ada satu harapan yang aku curahkan kepada alam.Ya, SEKOLAH. Kata inilah yang selalu aku sampaikan. Sekolah menjadi penantiannku yang paling ku nanti. Aku merasa sudah bosan menghabiskan hari-hari bermain, atau bosan mencari uang dengan menjual kelapa-kelapa yang aku dapatkan setiap harinya. Kulihat anak tetangga, baik itu keluargaku sendiri maupun orang lain, pulang dengan gembira setelah belajar di sekolah. Rasa iri terhadap mereka kerap kali muncul.
Ekonomi memang tak bisa dipungkiri sebagai hambatan untuk bersekolah. Mengharapkan hasil keringat emak pun tidak cukup. Siang dan malam ia bekerja hanya cukup untuk mencari sesuap nasi dan menghibur malaikat-malaikat kecilnya. Emak seorang janda tua. Janda tua yang perkasa. Semua ia lakukan dengan seorang diri setelah ia berpisah dengan ayah karena masalah keadaan ekonomi yang mencekik. ayahku seorang penyandang tuna netra, tuna wicara, dan tuna rungu. Hari-harinya dihabiskan dengan duduk−tak mampu melakukan apa-apa. Sementara emak hanya bekerja serabutan dan harus menghidupi keempat anaknya termasuk aku sendiri. Hingga suatu saat, keluarga ayahku memutuskan untuk mengajak ayahku tinggal di kota. Sejak saat itulah, emak tak lagi bersama ayah.
Aku ingin sekali meminta emak untuk menyekolahkanku tapi semua itu jauh dari harapan. Tak pernah sekalipun emak berbicara masalah pendidikan anaknya. Kemana aku akan melangkah. Mencoba memahami keadaan ini karena mengingat status emak yang buta huruf dan−tak pernah tahu yang namanya sekolah. Kelurga dari emak memang tak ada yang mencicipi bangku sekolah dan bahkan untuk kakak-kakaku sendiri. Aku mencoba berlari dari kenyataan pahit ini, mencoba menabur gula secara perlahan bersama waktu yang akan menjawab. Berharap manisnya hidup bisa kudapatkan.
***
Suatu ketika, aku memberanikan diri untk meminta emak menyekolahkanku.
“Emak, dang[1] mau sekolah seperti Rendo,” pintaku ketus.
“Sekolah bayar pakai apa!?” jawab emak tegas.
Aku diam terpaku.  Bocah kecil tak banyak mengerti apa yang harus dilakukan. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut kecilku. Perkataan emak begitu meyakinkan. Kepastian hidupku semakin jelas. Tak ada kata sekolah. Desa yang indah ini, tak memberikan aku mimpi yang sama dengannya. Ekonomi merampas semua itu. Setiap kali kulihat Rendo pulang dengan membawa kegembiraan. Cahaya masa depn seolah memancar kala kumelihatnya. “Memang seharusnya rendo bisa sekolah”, pikirku. Rendo adalah temanku bermain sejak kecil. Ia adalah anak dari kemanakan ibuku. Ayahnya memilki ladang yang luas. Tak jarang emak melewatkan penawaran kerja dari ayahnya. Rumhanya jauh berbeda denganku. Beratap genteng multi roof, dinding cat penuh warna dan ukurannya sebesar lapang futsal. Di dalamnya menyimpan jutaan nikmat. Ketika ia pulang sekolah, aku segera menuju rumahnya. Hany sekedar untuk menikmati hiburan yang tak kudapatkan dari rumahku sendiri. Di rumah Rendo, aku bisa nonton televisi, bermain playstation (PS) atau sekerdar menikmati sejuknya rumah besarnya itu. Aku memanggil Rendo, pak Uncu[2]. Saat itu umurku terpaut 3 tahun lebih muda darinya. Jadi kasih sayang seorang kakak, bisa aku rasakan. Setiap kepulannya dari sekolah. Ada satu hal sering aku tanyakan.
“Pak Uncu, aku boleh main PS gak? Pintaku memanja.
“Boleh, tapi jangan ribut, ya” pintanya dengan senyum seorang kakak yang tulus.
Begitulah hari-hariku aku habiskan. Bermain, mandi di sungai atau mencari kelapa untukku jual buat menambah jajanku sendiri.
Singkat cerita, suatu ketika bapak Rendo pulang dari kota. Ia mengabarkan kepada emak. Jika aku ingin sekolah. Ia ada tempat yang bagus untukku bersekolah.
“Wah[3], kalau Burniatmau sekolah, masukkan ke Panti Asuhan saja,” sarannya dengan semangat.
“Apa itu Panti Asuhan?” emak balik bertanya.
“Panti Asuhan itu tempat anak-anak yang berstatus yatim piatu. Disana, anak-anak akan disekolahkan hingga tamat,” jawab pak Rendo
“Tapi anak wah bukan yatim piatu. Terus bagaimana bisa diterima? Tanya emak lagi.
“Bisa diterima, asalkan berasal dari keluarga yang tidak mampu” jawab pak Rendo.
“Baiklah kalau begitu, wah akan membujuk dang untuk masuk Panti Asuhan” tegas emak.
***
Dua minggu setelah itu, emak pun membicarakannya padaku.
“Dang, kamu mau masuk Panti Asuhan? Tanya emank lirih.
“Apa itu Panti Asuhan? Tanyaku
Diam sejenak, kemudian emak menjawab dengan pelan. Suaranya yang tegas kini berubah sedikit mendayu.
“Panti Asuhan itu tempat paling enak buat dang. Dang bisa makan ayam terus, bisa sekolah dan banyak teman. Emak saja kalau masih muda seperti kamu, pasti mau masuk Panti Asuhan” jawab emak dengan senyum palsu. Kemudian beberapa menit kemudian, emak melanjutkan pembicaraannya.
“Bukannya dang bilang mau sekolah?
“Ya mak. Dang sangat ingin bersekolah” jawabku. Sejenak pembicaraan kami pecah oleh suasan hening yang merobek kegelapan malam. Lampu teplok yang kumuh, menerangi malam dengan celah-celah cahaya yang redup. Aku melihat jelas, bagaimana senyum emak sebenarnya. Mungkin ada rasa sedih karena aku. Tapi yang jelas, dari tawaran emak itu, aku pun meng-iyakan perkataan emak walaupun aku tidak tahu seperti apa itu Panti Asuhan. Setiap orang yang memberikan solusi yang sama terhadap impianku jika ingin sekolah. Ya, Panti Asuhan mungkin jawaban yang tepat.
***
27 mei 2001 adalah kali kedua aku menginjakkan kota Bengkulu. Kedatangan kali ini bukan untuk menghibur diri semata atau hanya ingin berjumpa dengan sang ayah. Tapi menjemput harapannku. Sekolah. Ya, sekolah yang telah lama kunanti. Semua kebutuhan pakaian yang aku butuhkan telah emak siapkan jauh-jauh hari sehingga pada hari itu, kami dengan santainya menuju kota Bengkulu. Hanya butuh 6 jam dari kampungku menuju kota Bengkulu. Tak terasa kami telah sampai diterminal pmberhentian.
“Dang, kalau nanti sudah sampai di rumah bapak, kamu harus bicara ya. katakan kalau kamu mau sekolah. Bilang saja masuk Panti Asuhan” pesan emak padaku.
“Ya, emak. Burniat akan lakukan itu” senyumku pada emak.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah ayahku. Di perjalanan, tak henti-henti ku memandangi sudut kota bengkulu. Mataku seolah tak ingin mengalah. Emak pun sampai-sampai tak aku perdulikan. Mobil yang kamu tumpangi tiba-tiba berhenti. Suara emak yang garang keluar.
“Kiri bang! Pinta emak.
Sang sopir kemudian berhenti dengan mendadak. Kakinya terkejut dan langsung menginjak rem mobil. Suara emak yang mungkin membuat itu terjadi. Ku periksa semua barang bawaan kami agar tak ada yang ketinggalan satu pun. Langkahku dan emak semakin jelas. Kaki yang kami ayuhkan membawa kami ke subuah rumah putih dengn luas 70×60. Rumah yang sangat besar bagi kami. Kami melihat lelaki tua duduk di teras rumah itu, menyambut kedatangan kami. Tapi ada yang aneh. Ia tidak sama sekali bangkit dari duduknya atau sekedar senyum kepadaku. Emak yang saat itu bersamaku, tak menghiraukan laki-laki itu. Karena penasaran, aku pun menyakannya kepada emak.
“Emak, lelaki itu siapa?
“Itu adalah ayahmu, bur” jawaba emak.
Aku terkejut saat itu, ternyata lelaki yang menyambut kedatangan kami tanpa ada reaksi apapun adalah ayahku. Kemudian aku bertanya lagi.
“Kenapa ia tak mengenaliku, emak?
“Ayahmu itu buta, tuli dan bisu, dang. Jadi tidak bisa apa-apa” jawab emak dengan nada yang lirih.
Aku yang kala itu mendengar jawaban emak, langsung menuju ayahku.ku raih tangannya. Lalu kucium. Tangannya yang rapu, meraba setiap sisi tubuhku. Mengenaliku dengan teliti. Senyumnya tak henti-henti terpancar ketika aku didekatnya. Tak banyak yang aku tahu tentang ayah. Tapi yang jelas, perjumpaan hari ini telah mengakat semangatku untuk sekolah.
“Burniat...!” panggil emak
“Ya..., emak. “jawabku
Aku pun langsung masuk ke dalam setelah habis menghibur ayahku. Dan bahkan ketika aku akan meninggalkannya, ia tertawa seorang diri. Mungkin karena kedatanganku. Aku segera menuju asal suara emak. Ku dapati emak sedang berbicang-bincang dengan bibiku. Namanya Rasmaniar. Ia adalah kakak tertua ayahku. Aku sering kali memanggilnya wak Nop[4]. Ia adalah istri dari seorang polisi, namun belum beberapa lama, kudengar suaminya baru meninggal. Aku kemudian duduk di samping emak. Lalu suara tua dari wak Nop keluar.
“Kata ibumu, kamu mau sekolah ya, Bur?,”Tanya wak Nop
“Ya, wak. Aku memang mau sekolah. Tolong wak kabulkan permintaanku yang satu ini” pintaku dengan lirih.
“Tapi wak Nop tidak bisa menyekolahkanmu, wak banyak tanggungan hidup. Lihat saja ayahmu,” seolah ia menolak permintaanku itu.
“Ya apa saja saja caranya, wak. Masuk Panti Asuhan juga tidak apa-apa” jawabku
“Benaran, kamu mau masuk Panti Asuhan” ia bertanya lagi.
“Iya “ jawabku mengangguk.
***
Satu bulan setelah pertemuan itu, tepatnya pada 29 Juni 2001, aku masuk Panti Asuhan. Semulanya aku menyangka kalau di Panti Asuhan akan makan ayam selalu tapi ternyata emak berbohong. Hari pertamaku di Panti, disambut dengan 3 iris terong sambal. Terong yang acapa kali menemani makanku waktu di kampung. Belum lagi peraturannya yang ketat. Membuatku berada dalam sangkar. Tak mampu kemana-mana. Ada penyesalan dalam hati, namun tujuan sekolah tetap tertanam dalam hatiku. Satu tahun, 2 tahun, hingga tahun 3, aku masih bertahan. Hingga suatu ketika hendak naik kelas 4 Sekolah Dasar, aku dihadapkan dengan sebuah masalah besar. Aku diangkat menjadi anak oleh pengasuh panti karena prestasiku yang gemilang. Setiap semester tak jarang aku berdiri sebagai 3 besar murid berprestasi dalam kelasku. Karena melihat perkembang ini, aku pun di minta tinggal di rumah pengasuh yang tak jauh dari asramaku. Tapi nasib berkata lain. Aku menganggap ini akan menjadi lebih baik, malah berbalik keadaannya. Setiap hari aku harus bekerja di rumah itu. Menyapu, mengepel, mencuci, memandikan anak-anaknya hingga menyetrikan pakaian. Kadang kala aku menangis melihat prilaku pengasuhku. Aku yang baru berumur 10 tahun saat itu, belum begitu sanggup melakukannya, namun harus tetap kupaksakan.
Pada suatu ketika, aku  pernah terlambat bekerja karena harus mengambil pakaianku di asrmaku. Nahas, ketika sampai rumah pengasuh, malah aku mendapat tamparan dari suaminya. Sakit sekali pipiku saat itu. Cicin besar yang dipakainya membuat pipiku memar.
Saat itulah aku memutuskan untuk lari dari Panti Asuhan.
***
5 Maret 2004 adalah aksi melarikan diri yang aku lakukan. Saat anak-anak Panti Asuhan yang lain sedang melaksanakan shalat subhu berjamaah, aku memulai aksiku. Pagar yang menjulang tinggi, aku lompati. Demi kabur dari Panti Asuhan, berbagai macam cara aku lakukan. Panti asuhan yang luasnya kurang lebih dari satu hektar, dengan cepatnya aku telusuri. Ya, sebelum melompati pagar yang tingginya 2,5 meter, aku memanjati pohon kelapa yang dekat dengan pagar tersebut. Sehingga dengan mudah aku menerobosnya. Setetlah keluar dari area Panti Asuhana, aku pun bergegas lari secapat mungkin agar tidak terlihat oleh petugas Panti Asuhan. Ada hal hebat yang kulakuan saat itu yakni aku berjalan seorang diri menuju rumah bibiku yang jaraknya 12 kilometer dari Panti. Tapi, itu sama sekali tak berarti apa-apa bagiku, kecuali ingin cepat sampai rumah.
***
Tak terasa selama beberapa jam lamanya, aku pun sampai di sebuah gubuk. Ku sandarkan diri sembari beristirahat setelah perjalanan yang cukup panjang. Sejenak aku berpikir, “bagaimana caranya aku pulang sementara rumahku sangat jauh.” Saat ini aku sedang berada di kota, bagaimana aku bisa menuju desa”?. Pertanyaan ini terus membayangiku. Bingung harus berbuat apa. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk memberanikan diri menghadap wak Nop. Setelah perdebatan itu, aku segera menuju rumahnya, berharap ia akan mengantarkan aku untuk pulang ke kampung.
 Kemudia sampailah aku di tempat pertama aku pijakkan. Ya, rumah bibiku. Kedua kalinya juga aku melihat ayahku lagi. Sama seperti pertama aku datang ke Bengkulu. Ia sedang duduk, menikmati sepoi-sepoi angin berhembus. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, terbesit rasa takut dalam diri, karena mengingat aku mengecewakan bibiku itu. Tapi, rasa itu hanya selintas menghantui. Hingga akhirnya aku temui ia, yang sedang berbincang dengan anak-anaknya.
“Wak, Burniat mau pulang ke kampung” pintaku yang saat itu langsung menerobos pembicaraan mereka.
“Lho,, kenapa kamu pulang Burniat!” sahut anaknya.
“Aku tidak tahan lagi tinggal di Panti Asuhan” jawabaku dengan tersedu-sedu
“Sudah, pulangkan saja lagi burniat ke Panti, ma!” sahut anak yang lain.
“Ya, sudah Burniat. Kamu harus pulang malam ini ke Panti, ya!” tegas Bibiku itu.
Aku terus coba menangis, berharap mereka akan kasihan terhadapku. Mengurung niatnya untuk mengembalikan aku ke neraka itu. Air mata telah bercucuran membasahi pipiku, ingus sudah menjalar kemana-kemana tapi tetap saja tak ada respon yang mereka berikan.
“Aku rindu emak. Aku ingin pulang! ”dengan marah, aku berteriak keras.
Dari sudut kamar, terdengar suara deret pintu menganga, sosok wanita muda keluar secra perlahan menuju tempat perbincangan kami. Ia adalah anak tertua dari bibiku. Ia mendekatiku dan kemudian menasihatiku. Namanya Nopianti. Nama inilah yang diambil dari panggilan bibiku itu. Wanita itu, mendekati sambil memberikan aku segelas minuman.
“Bur, kenapa kamu ingin pulang? Tanyanya
“Aku sudah tidak tahan lagi, mbak” jawabku.
“Memang apa yang membuatmu tak tahan?
“Aku tidak disamakan dengan anak panti lainnya. Aku tinggal di rumah pengasuh panti. Setiap hari aku harus bekerja melayani mereka. Sementara tujuanku kesana adalah bersekolah. Bukan menjadi pembantu!” jawabku dengan tersedu-sedu dan diikuti emosi.
Ku lihat wajah mereka dengan seksama mendengarkan pintaku itu. Berharap ada kejelasan baru yang akan mereka berikan.
“Sudah, Bur. Kau tahu kalau ibu dan ayahmu sangat mengharapkan kamu menjadi anak yang masa depannya cerah. Coba lihat ayahmu. Ia buta, bisu, tuli dan tak mampu memberikan apa-apa untukmu smentara ibumu hanya seorang janda yang tak bisa menyekolahkanmu. Kau tahankan saja dulu di Panti Asuhan. Tidak lama kok, Cuma 12 tahun, setetlah itu kau bebas mau kemana” jawab Nopianti dengan lembut.
Mendengar perkataan itu, aku kemudia sadar apa yang harus aku lakukan. Ya, aku harus kembali. Meniti masa depan untuk emak dan ayah. Tak perduli berapa keras yang akan aku hadapi. Demi mereka aku akan melakukan apapun. Perjuangan yang telah mereka lakukan bahkan tak mampu kubalas dengan penderitaanku. Mereka lebih menderita ketimbang diriku saat ini. Hingga kejadian itu, malamnya aku pun segera dikembalikan ke Panti Asuha.
Memang tak ada yang berubah semenjak kejadian itu, tapi semangat serta cintaku pada orangtua mengalahkan semuanya. Kejadian demi kejadian aku alami, namun tak pernah bisa kuceritkan pada orangtuaku. Sikap pengasuh Panti yang keras dan semena-mena tetap aku jalani. Aku tahan sendiri dan berharap suatu saat nanti ini akan berhenti.
***
12 tahun berlalu, aku pun dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Nafas lega menghampiri hidupku. Penderitaan yang lalu, kini telah pergi. Aku dulunya merasa sedang tinggal di sebuah neraka. Entah, apa yang membuatku berpikir seperti itu. Panti yang biasa dikenal dengan banyak berkah dan surganya anak-anak yatim-piatu, namun di mataku layaknya sebuah neraka. Memang tak sama apa yang aku pikirkan dengan apa yang dipikirkan oleh teman-temanku yang lain. Mereka dengan santai bisa belajar, istirahat, dan bermain sementara aku terkurung dalam sangkar pengasuh pantiku. Aku tak pernah menceritakan semua itu kepada siapapun, itu aku anggap sebagi pecutan masa depan yang akan menempa diriku.
Singkat cerita, setelah pertemuanku dengan orangtuaku karena aku telah berhasil lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), aku pun mengikuti seleksi beasiswa dari salah satu Sekolah Tinggi Islam Swasta di Bengkulu. Sekolah ini merekrut anak-anak yang memilki kemampuan akademik yang bagus, yang nantinya akan dibawa ke Jakarta. Aku pun mengikutinya dengan sigap. Orangtuaku mendukung sepenuhnya untukku. Aku tahu, hanya dengan cara inilah aku bisa kembali meneruskan pendidikanku. Tamat SMA belum mampu merubah hidup keluargaku. Segala hal kupersiapkan dengan matang hingga suatu hari, pengumuman itu sampai padaku.
“selamat, anda dinyatakan lulus dari seleksi beasiswanyang kami adakan. Tolong persiapakan perlengkapan untuk terbang ke jakarta”_ pengawas Beasiswa.
Surat inilah yang aku terima. Ternyata tuhan memberikan sebuah anugerah terindah untukku dan keluargaku. Penderitaan tak selamanya menghampiri kita. benarlah apa yang telah dikatakan sang pencipta “Dibalik suatu musibah, ada hikmah terindah yang tidak mampu ditembus manusia”. Terima Kasih ^_^


[1] . Anak Laki-laki Tertua

[2] . Paman Termuda dari Sebuah Keluarga
[3] . Panggilan Orang yang Lebih Muda
[4] Kakak tertua Bapak. Ia memiliki anak namnya Nop.


Oleh Muhammad Burniat



Berawan com dan pasti masalahmu berlalu jika kau terus percaya dan lanjutkan hidupmu




2 komentar:

  1. ini adalah tulisan saya,

    Salam kenal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam Kenal Mas Muhammad Burniat,
      Tulisan ada keren... :)
      semangat yaa mass

      Delete