dibalik kesabaran hati ini menangis
Cerpen: Soejono
Soejono
Mungkin Dia benar-benar menyumpahiku!
Nafasku pendek, semakin lamban. Semua menjadi terasa sesak. Sulit sekali untuk bernafas. Meringkuk di sudut sana sudah seperti mayat hidup. Dia meninggalkan ku di ruang ini bersama jendela itu. Aku hampir mati.
Kini rinduku lebam. Masih ku ingat kala aku duduk depan jendela tanpa pigura. Memandangi bayang-bayang yang singgah depan bulu mata. Kemudian malam menarik krudung rindu yang ku kenakan. Ia menyeretku depan pelataran malam. Tak peduli aku yang telah babak belur dihajar pilu.
Dalam kamar yang lindap.
Kamarku berdinding merah bata. Ada banyak cabikan kertas berisi puisi-puisi yang tak pernah Dia telan. Aku memang mengabadikannya dalam secangkir puisi. Dia memiliki mata yang indah. Pria berwajah bulat dan mata hitam, setajam elang menukik bukit. Aku masih meringkuk disudut ruang. Masih berseliweran tawa kepedihan diatas malam yang meraung.
“Sssssttttttt! Kau dengar? Suara itu.”
“Tidak, aku tak mendengar apapun.”
“Suara ketukan sepatu. Dia datang! Dia datang!”
“Siapa yang akan datang?”
“Soejono.”
“Bagaimana kau bisa tahu itu dia?”
“Ciumlah! Ini bau tubuhnya.”
Aku gemetar, kepalaku menuangkan segala huruf-huruf yang berantakan. Kau malah bersembunyi dibalik lembar sajak busuk itu.
Gemerincing lonceng mengalun ditelinga.
“Soejono murka! Ia akan membunuhmu! Cepat pergi gadis bodoh!”
“Bagaimana mungkin aku pergi. Aku terluka.”
Bekas Dia datang tadi siang belum hilang. Bau pilu masih mengisi udara kamarku. Percikan rindu masih menempel di dinding-dinding, di atas cabikan puisi-puisi dan mataku.
“Kalau begitu sembunyilah.”
“Tidak!”
“Bodoh! Terserah!”
Ketukan sepatu terdengar makin nyaring. Siluetnya sudah berdiri didepan pintu. Perlahan suara decitan engsel menggema keseluruh penjuru ruangan. Dia masih bertengger depan pintu. Wajahnya masih terhalang bayangan temaram lampu yang sudah sekarat.
Kudekap dengkulku, takut copot sewaktu-waktu. Gemeletuk gigi beradu. Dia datang perlahan menghampiriku, langkahnya begitu tenang. Memandangku, kemudian Dia jongkok menyetarakan tubuhnya yang tinggi denganku yang tengah meringkuk dibawah. Menatap lekat-lekat. Dia membelai rambutku.
“Aku mencintaimu. Sekarang dan selamanya.”
“Ah, ku mohon jangan katakan itu.”
Kututup kedua telinga dengan telapak tangan. Aku tidak ingin mendengar kalimat itu lagi. Itu membuatku sakit. Dia jatuhkan kecupan diatas kening. Luruhlah air mataku. Ku dongakkan kepala. Astaga! Mata kami bertemu! Mata kami bertemu! Cepat-cepat kubuang pandanganku.
Dia berdiri. Satu-dua-tiga langkah Dia pergi. Kulihat punggungnya dari tempat ku meringkuk. Perlahan pintu tertutup kembali. Langkah yang begitu tenang meninggalkanku disini untuk kesekian kalinya.
“Mata! Matanya! Oh, lihat matanya.”
“Celaka! Kau membangunkan mereka.”
Suaraku terlalu lengking. Kemudian gerombolan rindu menerobos kamarku. Aku tersentak. Aku makin tersudut. Aku tak dapat berkutik. Mereka tarik tubuhku beramai-ramai. Menyeretku ketengah altar sembilu. Aku dapat mencium bau anyir. Bau busuk yang menelusup hidung. Dan, lagi-lagi kau bersembunyi dibalik larik dan sajak bodoh itu.
“Hahaha dasar wanita tolol!”
“Ku mohon jangan siksa aku lagi.” Mataku memelas memohon pengampunan.
Banyak hati yang tergantung dan terkoyak. Menetes darah-darah segar. Banyak pula serdadu rindu yang menjilati layaknya es krim dengan darah sembilu.
“Rasakan ini! hahaha” mereka pukuli batinku. Tusuki relung tubuhku. Aku mengaduh dan pikiranku sempoyongan. Wajah Soejono berdentang dalam dada. Serdadu rindu pergi kala aku hampir mati.
Tubuhku layu, mataku kian redup. Sudah ku bilang jangan katakan ‘kalimat itu’ padaku. Dia tega membiarkanku terseok dan mengendusi tiap bau tubuhnya yang mawar.
“Apa aku sudah mati?”
“Hampir.”
“Soejono selalu membuatku hampir mati.”
“Sudahku katakan sebelumnya. Dia akan membunuhmu.”
“Tapi aku mencintainya.”
“Ckckck Dasar gadis bodoh! Aku cukup lelah untuk memperingatkanmu”
Tak ada suatu apa.
“Hei! Apa kau benar-benar pergi? Sial!”
Isakku masih dipelupuk mata. Lamat-lamat ku dengar suara disana. Angin yang samar-samar berbicara, entah apa. Mungkin ia membicarakan wanita bodoh yang berkrudung pilu terkurung dalam ruang ini. Tentang wanita yang lagi-lagi hampir mati. Aku jengah dengan semua kata angin yang menelusup telinga. Mendenging isak yang membekukan ingatan, menenggelamkan jerit yang bersijingkat dengan waktu yang kian sempit.
Aku yang masih rebah memandangi bayangmu yang gugu. Dengan rindu dalam tubuhku yang liris. Ku ambil pena, ku penggal kepalaku. Dan, kubungkus dalam secarik sajak dan puisi. Hadiah yang sempurna.
“Aku Lara yang remuk. Trima kasih, Cinta. Soejono”
Bekasi, 5 Mei 2014
Di rename dari cerpen karya:
de Sabrini
berawan com dibalik kesabaran hati ini menangis
0 komentar:
Post a Comment