Friday, May 9, 2014

persetan dengan cabe cabean yang penting dagangan aku laku


Paskomnas - Triyono dari Ngablak – Magelang kemarin (6 Mei) wajahnya agak “memucat”, walau berada di hotel Pandanaran yang berbintang lima di Kota Semarang. Triyono diutus untuk ikut pertemuan tentang tanaman hias nasional. Namun sebelum  pertemuan dimulai, diruang makan bertemu dengan pejabat Paskomnas Indonesia yang sedang mengadakan pertemuan dihotel yang sama. Setelah saling bicara, akhirnya diketahui kalau dihotel yang sama sedang ada pertemuan antara  pejabat Kementerian Pertanian, Kepala-kepala Dinas pertanian + Gapoktan dari sentra cabe & bawang merah se Jawa itu dan mengundang nara sumber dari Pasar Komoditas Nasional Indonesia (Paskomnas Indonesia), dari Bank Indonesia dan dari UNDIP.  Triyono yang berasal dari kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu yang notabene juga sentra Cabe menjadi tertarik untuk tahu materi bahasan tentang cabe & bawang merah itu.

Dijelaskan oleh Pejabat Paskomnas Indonesia bahwa, pertemuan tentang cabe & bawang merah kemarin itu difokuskan membahas tentang “stabilisasi harga“ yang oleh pejabat BI, kedua jenis sayur itu memiliki andil terhadap inflasi cukup besar dalam perekonomian Indonesia karena fluktuasi harganya yang tajam.

Dalam pertemuan tentang cabe tersebut, yang sebagian pesertanya adalah ketua-ketua Gapoktan, sejak menit pertama sudah diwarnai dengan keluhan para petani yang dalam proses perdagangan hasil pertanian selalu menjadi pihak yang paling lemah. Masalah yang terjadi dalam usahatani cabe & bawang merah yang dihadapi petani selalu mengerucut kemasalah pemasaran. Dalam pemasaran itu,

Masalah pertamanya adalah tentang terjadinya harga “jatuh” pada saat tertentu. Disebut “jatuh” karena harga yang diterima petani berada dibawah harga pokok produksi atau break event point (BEP)-nya.

Masalah kedua adalah adanya perbedan harga yang tinggi antara harga ditingkat petani dan harga dipasar.

Masalah ketiga adalah sering terjadinya “gagal bayar” dari para pedagang daerah. Gagal bayar itu biasanya disebabkan oleh karena pedagang daerah yang suka mengirim sayurnya ke pasar induk di”kemplang” oleh  pedagang pasar induk.

Masalah keempat adalah adanya produk sayur import (termasuk bawang merah & cabe) yang masuk Indonesia dengan harga lebih murah, Produk import yang mutunya bagus itu berperan menyebabkan harga cabe dan bawang merah dalam negeri tertekan turun.

Dari keempat masalah itu, beberapa peserta mempermasalahkan dengan serius tentang adanya produk import yang  masuk kepasar Indonesia. Padahal Indonesia agaknya mampu memproduksinya sendiri. Pejebat pemerintah lalu menjawab kalau import itu dilakukan dalam rangka stabilisasi harga pula yang dilakukan saat harga melambung tinggi yang memberatkan konsumen. Dalam paparannya, Paskomnas Indonesia memberikan informasi bahwa,

Apakah kita defisit produksi …??

Tidak. Kita surplus. Untuk komoditas Cabe, produksi tahunan Indonesia sekitar 1.378.000 ton. Kebutuhan dalam negri kita sebesar 800.000 ton, sehingga untuk cabe terjadi surplus 578.000 ton. Untuk bawang merah, produksi tahunan Indonesia sekitar 1.050.000 ton, kebutuhan konsumsi konsumsi & pabrikan dalam negri sebesar 935.000 ton, sehingga terjadi surplus 115.000 ton. Dari data tersebut agaknya Indonesia telah “swasembada” bahkan berlebih produk cabe & bawang merah.

Namun masalahnya, karena belum ada pengaturan pola tanam , produksi surplus itu waktunya terjadi pada saat bersamaan antara daerah sehingga menyebabkan harga “jatuh” pada saat terjadi pasokan kepasar bersamaan. Setelah jatuh bersama, maka petani cabe atau bawang merah berhenti menanam, lalu terjadilah harga melambung berlipat-lipat.

Hal tersebut selalu terjadi berlulang-ulang untuk dua komoditas pedas itu. Pada saat harga melambung tinggi itulah, produk import masuk pasar. Yang menjadikan para petani kagum campur “gempung” itu adalah, produk import itu selalu dijual dengan harga murah, lebih murah dibanding harga “normal”-nya cabe & bawang merah kita. Kenapa bisa begitu, semua peserta pertemuan “tak habis piker”. Padahal sebenarnya sangat mudah dipahami. Produk import itu dijual dengan harga rendah dibanding “kemauan” menjual harga tinggi dari petani Indonesia, karena mereka dapat memproduksi dengan biaya “lebih hemat“.

Penentuan harga

Sebelum menentukan harga, atau membahas tentang harga jual bawang merah atau cabe sebaiknya diketahui lebih dulu BEP masing-masing.

Saat ini BEP cabe masih sangat beragam. Besarnya BEP sangat dipengaruhi oleh “perilaku petani” dalam menerapkan teknologi dan kelembagaan petani. BEP dapat rendah kalau teknologinya baik dan benar  sehingga tidak boros. BEP dapat lebih rendah lagi kalau petani bergabung dalam satu gapoktan yang selalu mengadakan kegiatan bersama (kooperatif) mulai dari pembelian sarana produksi, pembuatan pesemaian, menyiapkan irigasi, perawatan tanaman hingga pasca panen dan pemasaran. Sebaliknya BEP dapat tinggi kalau petani dalam berusahanya bertindak sendiri-sendiri. Membeli sarana produksi sendiri-sendiri, menyiapkan irigasi sendiri-sendiri, hingga memasarkan hasilnya sendiri-sendiri.

Berdasarkan hasil survey pihak Paskomnas Indonesia di sentra cabe & bawang merah dibeberapa daerah, BEP cabe merah besar sangatlah beragam besarnya, mulai dari Rp3.100,-/kg, Rp3.250,-/kg, Rp 5.200,-/kg hingga  Rp6.200,-/kg. Sementara itu besarnya BEP bawang merahpun beragam ada yang  Rp3.800,-/kg, tetapi ada pula yang Rp3.000,-/kg , Rp3.400,-/kg  dan  Rp3.200,-/kg.

Dengan mengetahui BEP, lalu dapat ditentukan besarnya harga yang “wajar” ditingkat petani. Harga wajar ditingkat petani untuk komoditas Cabe atau bawang merah yang resikonya tinggi itu sebaiknya sekitar 2,5 kali dari BEP. Dengan berpedoman pada angka 2,5 kali dari BEP, maka harga jual wajar cabe dibeberapa daerah itu bisa mulai Rp7.750,-/kg, Rp8.125,-/kg,  Rp13.000,-/kg dan yang tertinggi Rp 15.500,-/kg. Sementara itu harga wajar bawang merahnya menjadi Rp7.500,-/kg, Rp 8.000,-/kg, Rp 8.500,-/kg dan Rp 9.500,-/kg .

Dengan BEP yang berbeda itu, dapat dilihat seberapa besar daya saing produk itu dipasar. BEP yang rendah tentu memiliki daya saing lebih besar. Kalau harga pasar sama, tentu BEP yang rendah memiliki laba lebih besar. Misalnya saja harga cabe besar dipasar berada pada posisi Rp8.000,-/kg, maka petani yang BEP-nya Rp3.100,- dan Rp3.250,- sudah merasa wajar harganya. Namun untuk  petani yang BEP-nya Rp5.200,-  masih merasakan sebagai harga rendah dan petani yang BEP-nya Rp6.200,-/kg  mengangap “harga rugi”.

Demikian pula untuk bawang merah, masing-masing petani antara daerah memiliki produk dengan daya saing yang berbeda.

Kalau kepasar masuk produk import dengan  BEP dan harga jual lebih rendah, maka “habis”lah produk  dalam negri itu. Misalnya saja, beberapa bulan lalu masuk bawang merah import kepasar  Jakarta, Solo dan Surabaya dengan harga Rp3.500,-/kg maka  saat itu semua petani bawang merah kita “menangis” walau tak menetes airmatanya.

Harga tidak wajar.

Harga disebut wajar kalau tidak merugikan petani, tidak memberatkan konsumen, menguntungkan pelaku perdagangan dan memberi dampak yang baik bagi masyarakat dan ekonomi  Negara. Harga disebut “jatuh” kalau yang diterima petani produsen berada jauh dibawah harga wajar. Harga disebut tinggi kalau yang dibayarkan konsumen diatas harga wajar.  Tetapi dengan melihat  BEP dan perhitungan harga wajar  diatas, agak sulit menentukan “harga jatuh” atau harga tinggi itu. Untuk Cabe misalnya, dengan harga diterima petani sekitar Rp8.000,-/kg, petani yang BEP-nya Rp3.100,- dan Rp 3,250,-/kg  masih merasa wajar dan tidak jatuh harga. Tetapi bagi petani BEP-nya Rp5.200 dan Rp6.200,- sudah merasa jatuh harga. Konsumen tentu akan selalu  minta harga yang  wajar dan rendah.

Suatu ketika terjadi harga tidak wajar yang tinggi atau ekstrim tinggi. Misalnya harga Cabe mencapai lebih dari Rp 30.000,-/kg atau Rp60.000,-/kg,  bahkan dibeberapa pasar luar Jawa mencapai Rp100.000,-/kg atau lebih. Pada harga ekstrim itu para petani Cabe  tidak juga menikmatinya, karena umumnya barang sudah dikuasai pedagang antara/tengkulak . Sementara  itu para konsumen tentu sangat menderita.

Pada saat seperti itu, agaknya pas kalau ada produk import masuk dengan harga wajar.  Diwaktu lain, kadang terjadi harga Cabe turun hingga sekitar Rp3.000,-/kg atau dapat disebut “ekstrim rendah”. Pada saat seperti itu, semua petani menderita, namun konsumen juga tidak “makan cabe banyak” karena daya konsumsi cabe sebenarnya tidak berubah. Kebutuhan konsumsi rata-rata cabe dari penduduk Indonesia  adalah sekitar 1,40 sampai dengan 4,0 kg/tahun atau rata-rata sekitar 3 kg/tahun. Dari angka sekitar 3 kg/tahun itu, waktu dibutuhkan cabe oleh konsumen sedikit tinggi  pada hari-hari puasa, lebaran, hari Natal atau hari besar lain. Dari angka rata-rata itu jumlah kebutuhan cabe pertahun adalah sekitar 800.000 ton atau 800.000.000 kg.

Untuk memenuhi kebutuhan cabe sebesar itu dapat dihitung luas panen harian yang sebaiknya terjadi. Produktifitas cabe merah rata-rata sebesar 10.000 kg/ha. Luas tanaman cabe dibutuhkan secara nasional 80.000 ha. Kalau dianggap ada gagal panen sekitar 20 %, maka luas cabe dibutuhkan adalah 100.000 ha. Masa panen cabe berlangsung  10 kali petik dengan interval 5 hari atau masa panen total 50 hari. Untuk itu maka luas tanam dalam setahun sebaiknya sebanyak 7 kali saja dengan luasan masing-masing sekitar 15.000 ha/50 hari, atau areal panen harian sekitar 300 ha saja. Pada luas panen harian sekitar 300 ha ini akan terjadi harga wajar. Harga ekstrim rendah atau tinggi akan terjadi kalau luas panen harian jauh diatas atau dibawah angka 300 ha.

Dari perhitungan ini sudah jelas masalahnya. Sekarang tinggal direncanakan bersama agar luas panen harian cabe berjalan normal sekitar 300 ha. Begitu pula untuk komoditas Bawang merah, tomat, kobis atau komoditas strategis lainnya.

Peran pemerintah untuk merencanakan bersama itu sangat penting. Tinggal bagaimana sinergi antara  kelompok petani produsen dan penyelenggaran pasar induk seperti Paskomnas dapat ditingkatkan , amatlah diperlukan agar kesejahteraan petani bisa terjadi.

Prediksi.

Bagaimanakah prakteknya penanaman atau luas tanam harian cabe kita sekarang, agaknya di Kementerian Pertanian yang membidangi hortikultura ada angkanya.  Yang sulit adalah pengendalian luas tanam harian itu. Tetapi dengan adanya Asosiasi Agribisnis Cabe Indonesia (AACI) pola tanam/pola panen yang wajar itu dapat mulai dikerjakan.

Yang perlu diwaspadai adalah bahwa, sampai hari ini (minggu-I Juni) luas tanaman cabe yang seumur (yang mungkin ditanam pada hari yang sama dalam kurun waktu 50 hari), jumlahnya mencapai beberapa kali lipat dari 15.000 ha. Itu artinya untuk jangka waktu 2 – 3 bulan kedepan harga cabe akan menurun dan dapat mencapai puncak penurunannya (harga jatuh) sekitar  100 hari kedepan.

Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Kalau itu tidak terjadi, berarti banyak areal cabe yang “gagal panen”. Kalau semua petani berhasil panen, pasokan kepasar induk membanjir, harga diprediksi akan jatuh. 

Wah, “maju kena-mundur kena” ini Pak, kata Triyono sedikit panik mengingat Cabenya yang baru berumur 15 hari.



berawan com persetan dengan cabe cabean yang penting dagangan aku laku

0 komentar:

Post a Comment