Ketika seseorang memilih untuk menginjakkan kaki di dunia kesehatan, maka dia telahmenyerahkan sebagian besar hidupnya kepada masyarakat. Hanya sebagian kecil darinya yang diaditinggalkan untuk keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri.
Waktunya akan lebih banyak dihabiskan untuk orang lain daripada untukmu sebagai suaminyaatau anak-anak. Pikiran dan tenaganya akan tercurah kepada orang-orang asing yang mungkin tidak akan mengingatnya dalam setiap doa, tidak sepertimu atau orang tuanya.
Kamu tahu? Dia akan lebih sering di rumah sakit daripada di rumahmu sendiri. Itu bukan karena dia menyukai rumah sakit. Rumahmu tetaplah tempat yang membayang di pelupuk matanya setiap detik dia di rumah sakit. Karena rumah sakit adalah tempat yang penuh tekanan. Jika kamu bukan tenaga kesehatan, maka tidak akan terbayangkan seperti apa rasanya hidup di sana. Jangan heran jika seringkali mereka menyebutnya “rimba raya”.
Maka ketika dia terlihat dingin dan lelah, peluklah. Peluk sampai ke dalam lubuk hatinya. Karena kamu mungkin tidak tahu bahwa pasiennya baru saja meninggal dunia, atau seniornya baru saja memarahi dan menghukumnya, atau ada pasien yang menyalahkan terapi yang dia berikan, atau rekan kerjanya yang tidak bisa diajak bekerja sama. Dengarkan ceritanya dengan sabar. Jangan lupa ceritakan juga harimu padanya. Tawarkanlah untuk berdiskusi, karena kamu lebih dia percaya daripada siapapun di dunia.
Jika kamu menikahi seorang dokter, jangan memiliki persepsi yang sama seperti kebanyakan orang, bahwa dokter pasti kaya secara materi. Sama seperti yang lain, dia akan mendaki dari bawah. Bahkan jam kerjanya di awal pendakian itu lebih banyak daripada profesi lain dengan imbalan yang pas-pasan. Tetaplah di sisinya, sama seperti dia yang selalu berusaha ada di sisimu.
Tetapi, sebanyak apapun pasiennya, kamu dan kaluarga tetap menjadi prioritasnya. Dia akan menganggap dirinya sendiri sebagai dokter pribadimu. Dia akan sangat kritis terhadap apapun mengenai dirimu yang terkait dengan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Mungkin akan terdengar bawel, tapi itu adalah bentuk perhatiannya.
Seorang dokter akan sangat perhatian kepada orang lain, tetapi tidak kepada dirinya sendiri. Maka tidak jarang kamu mendengar ironi tentang seorang dokter meninggal dunia karena penyakit yang sebetulnya sering ditanganinya. Dia akan mendengarkan keluhan orang lain tapi mengabaikan keluhannya sendiri. Siklus makannya akan berantakan, begitu juga dengan waktu tidur yang jumlahnya dalam jam bisa dihitung dengan satu tangan saja. Maka jadilah satu-satunya yang memperhatikan dia. Ingatkan untuk makan dan shalat, atau jika tidak sama sibuknya, bawakan makanan saat dia jaga malam. Kehadiranmu akan lebih menyenangkannya daripada makanan itu sendiri.
Jika istrimu seorang dokter, siapkah kau membaginya dengan orang lain?
Bagaimana jika istrimu adalah seorang dokter?
Semasa kecil sama seperti halnya anak-anak pada umumnya, ketika ditanyakan ingin menjadi apa di masa depan, singkat ku jawab, “Menjadi dokter”, ternyata memang benar kata-kata itu seperti doa. Padahal, ketika anak-anak mungkin tak pernah terlintas bagaimana perjuangan agar bisa menggapai cita itu, yang diketahui dan terlintas dalam benak hanyalah aku ingin menjadi seperti bapak/ibu itu yang sering kita jumpai profesinya, entah karena kebaikan dan ketulusan yang diberikan sang bapak/ibu itu ataukah hal-hal tertentu yang menjadi imajenasi seorang anak.
Bagaimana pendapatmu? Diam-diam ku betanya padamu, tertarik pada responmu.Ya, aku tahu pasti sikapmu begitu, sama seperti yang lainnya.
Bayanganmu akan melayang jauh dan mulai berfikir bahwa dokter adalah sibuk, dokter adalah milik masyarakat, bukan milik keluarga kita nanti. Dokter selalu tidak punya waktu untukmu dan untuk anakmu nanti. Dan segala ketakutanmu tentang ambisi ku tentang karier ku nanti.
Ingin kubisikan kabar baik ke telingamu, Sayang. Tidak semua dokter bercita-cita seperti itu. Cobalah lihat aku, seutuhnya aku. Prinsipku, baktiku padamu itu nomor satu. Jika aku bisa memilih, pastilah aku memilih untuk menjadi ibu dan isri yang seutuhnya.
Tak perlu bingung, Suamiku. Menjadi dokter memang kebahagiaanku, cita-citaku sejak kecil bahkan sebelum kita bertemu. Aku ingin kelak aku bisa lebih cerdas menjadi seorang ibu, mengerti tumbuh kembang anakku, mengerti semua hal tentang ksehatan di rumah kita. Aku tak perlu mengejar-ngejar waktu ke rumah sakit karena ada pasien gawat darurat, rumah kita pun sudah cukup untuk menjadi tempat praktekku nanti. Aku tak perlu menunggu pasien datang di sebuah klinik ternama, karena kamu dan anak-anak kita adalah pasienku. Tentang gaji? Ah sudahlah, aku tak perlu gaji terhadap pengabdian seumur hidup ini.
Suka, sayang kalo ga di-copas *eh
dari kurniawangunadi.tumblr.com
0 komentar:
Post a Comment